Minggu, 21 Februari 2010

Pesona Sang Tradabur dari Aceh





















Photo : Muda Belia bersama Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf


tiga jam bersama MUDA BALIA

Badan lelaki Dua Puluh Sembilan tahun itu meliuk –liuk bersemangat. Gerakan bibirnya menuturkan syair-syair dan pantun hikayat berbahasa Aceh. Ia menuturkan fenomena apa yang ia saksikan sejak 26 Desember 2004 sampai 26 Desember 2009. Tepatnya apa yang ada dalam pandangan nya selama lima tahun terjadinya gempa dan gelombang pasang tsunami yang melanda Aceh lima tahun yang lalu. pedang pelepah kelapa, tikar anyam, bantal, dan seruling menjadi atribut yang menemani dia beraksi

Syair-syairpun meluncur indah tanpa henti

Pakriban haba Cut Bang Irwandi/ Peukara MURI pakriban cara/ Nyoe pat adoe ka meusingklet gaki/ hana lon tukri meujak u Jakarta/ Tulong hai Cut Bang neuboh paduli/ Beuna keueh MURI keu Muda Balia

Apa kabar Cut Bang Irwandi, bagaimana dengan persoalan MURI, adinda disini sudah tergelincir kaki, tidak tahu bagaimana caranya ke Jakarta, Tolonglah Abang, supaya ada cara MURI untuk Muda Belia (terjemahan bebas penggalan syair Muda Belia, yang dibacaakan saat membaca “peugah haba” 26 Jam, di lokasi Kapal apung, Banda Aceh

***

Syair dia atas, adalah penggalan syair bertutur “peugah haba” yang di lantunkan sang trudabur muda itu. Kapal Apung PLTA milik PLN yang berbobot 4.500, didatangkan dari Kalimantan Barat ke Aceh menjadi saksi bisu pentas sejarah yang menghantarkan sang tradabur memperoleh rekor MURI.


Tanpa cela dan mengacau, Muda Balia, menuturrkan syair-syair dalam pantun indah khas Aceh, yang di kenal dengan seni “peugah haba” atau seni bertutur . Tampil dengan berbusana khas Aceh, hari itu, Balia pun mempersembahkan totalitas kesenian itu . ia menuturrkan syair-syair dalam pantun indah khas Aceh, yang di kenal dengan seni “peugah haba” atau seni bertutur. Ia bertutur 26 jam, tanpa jeda, kecuali shalat dan makan. MURI memberinya sertifikat, pengakuan atas rekor yang dia pecahkan. Keindahan suara dan olah vokal Balia dama ”peugah haba” terlihat apik, tanpa cela dan mengacau, Muda Balia, Ia bertutur 26 jam, tanpa jeda, kecuali shalat dan makan.


MURI memberinya sertifikat, pengakuan atas rekor yang dia pecahkan. Di situs peninggalan tsunami Kapal Apung ini, Muda Balia hanya beristirahat selama 5 menit dalam setiap satu jam untuk istirahat. “Jika berhenti dalam waktu tiga jam sekali, berarti 15 menit itulah waktunya untuk makan dan shalat,” kata Teuku Afifuddin, koordinator acara.


Pemandangan ini, tak pernah disaksikan di Aceh sebelum nya. “Masa-masa konflik dulu, tak gampang melakukan pementasan seperti, apalagi yang mengundang orang ramai untuk menonton nya. Konon, jangankan untuk 26 jam, lima jam saja sulit” tutur Juliansyah, salah seorang penonton pada saya. Ia merasa puas dengan pertunjukan hikayat oleh sang trudabur asal Bakongan, Aceh Selatan, tersebut.


Akhir Desember 2009 yang lalu menjadi beda dari penghujung-penghujung tahun sebelum nya. Kali ini Aceh mengukir berita. Dan ini prestasi. Ini baru berita”ujar Juliansyah lagi.


Ya, Akhir Desember 2009 yang lalau memang berbeda. Penghujung tahun yang berbeda dengan penghujung tahun-tahun sebelum nya. Itulah yang dirasakan, lelaki yang hanya tahu tahun lahir nya saja. Muda Balia, nama lelaki tersebut. Suami dari Nursimah (22 th), dan Bapak dari dua anak, Lia santika (3 thn), rahmatullah (9 bulan), memecahkan rekor Peugah Haba (bertutur), selama 26 Jam. Ia pun mendapat pengakuan sertifikat dari MURI (museum rekor Indonesia).


Ini memang terobosan sejarah. Baru kali ini, atau paling tidak dalam satu dekade belakangan ini, kesenian Aceh berada di puncak suatu rekor. Muda Balia yang tampil di lokasi Kapal Apung, Punge Blangcut, Banda Aceh, menampilkan Hikayat Dangderia yang dimainkannya selama 26 jam dengan interval hanya untuk shalat dan makan. Itu memang luar biasa. Muda Balia telah memecah Rekor MURI. Prestasi nasional itu, konon disaksikan oleh Gubernur Irwandi dan beberapa unsur Muspida. Irwandi pun memberi pernyataan tertulis atas kesaksiannya.

Mimpi itu jadi kenyataan, ujar Balia pada Gatra. Mimpi sang trubadur asal Bakongan, Aceh Selatan, itu menjadi pemangku rekor bergengsi di level dunia berbasis nasional, dengan meraih Piagam MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) pada acara 26 Jam Hikayat Tsunami di lokasi Kapal Apung, Punge Blang Cut, Banda Aceh, pada 26 Januari 2009. Yakni sebagai penampilan hikayat yang terlama hingga mencapai 26 jam. Ini belum pernah terjadi sebelumnya.


Muda Balia sendiri, tak kuasa menahan harunya. Dia tak bersuara apapun waktu itu. Matanya berkaca-kaca. Perjalanan hidup berkesenian yang telah dijalani dengan segala suka dukanya, hari itu telah mengantarkan dia ke suatu episode baru. Yaitu menggapai puncak kebahagiaan yang tiada taranya. “saya tidak menyangka, peristiwa ini terwujud”, seperti mimpi saja Pak”ujarnya pada saya


Muda Balia memulai berkecimpung dengan seni “peugah haba” sejak ia duduk di kelas 4 SD, tahun 1994. Saat itu ia suka sekali menonton pertunjukan seni bertutur Peugah haba. Putra bungsu pasangan Syafi’i dan Rusna itu menceritakan, dia tidak ada tujuan banyak hijrah ke Banda Aceh pada 1998 silam. Apalagi pendidikannya hanya sebatas SD. Namun, satu tujuan penting baginya yang diamanatkan gurunya Zulkifli asal Manggeng, Abdya (sebelumnya Aceh Selatan). “Saya ingin menjelaskan penafsiran tentang hikayat dangderia yang menurut guru saya salah diartikan. Tapi, saat itu saya tidak punya tempat dan dan orang yang memfasilitasi,” sebutnya.


Ayah dua anak itu menjelaskan, aliran hikayat yang dibawakan dibandingkan almarhum Adnan PMTOH, sama. Namun, penyajiannya berbeda. Bahkan gurunya Zulkifli dan guru almarhum sama-sama berguru pada satu orang, yakni Amat Lapee.


“Kalau guru saya, menggunakan peraga patung helm dan alat lainnya. Kalau saya menggunakan peraga yang digunakan guru Amat Lapee, yakni pedang pelepah kelapa, tikar anyam, bantal, dan seruling,” cerita Balia


Kematangan Balia dalam bertutur, terlihat sekali saat membacakan hikayat Peeh Bantai yang lebih akrab dengan peugah haba atau dangderia itu, ia hanya mengandalkan ketahanan fisik dan daya ingat. Ia mengaku tak mengunakan hal lain saat diminta tampil di suatu acara atau hajatan.


“Peugah haba dalam Bahasa Indonesia artinya berbicara. Sementara dangderia, sosok raja yang diceritakan dalam hikayat itu. Dan hikayat tentang dangderia, yang paling sering dibawa dalam setiap penampilan,” katanya seraya menjelaskan bahwa ini semua lebih bersifat pesan moral dan syariah.


”dulu saya menyampaikan hikayat ini, dalam acara-acara undangan pernikakan dan sunat rasul, sekarang di acara yang besar”, semangatnya tetap sama ujar Balia.


Ada yang luar biasa dalam tutur itu. Hikayat yang dituturkan Balia, spontan bisa lahir dalam ingatannya dalam sekejap tanpa catatan apapun. ” saya hanya meminta waktu sejenak, melihat sekeliling saya, mengamati bagaimana respon penonton. “ ujarnya mantap.


” sebenarnya hikayat dengan tema lain pun mampu saya mainkan, kalau di undang itu tergantung yang mengundang. Hikayat apa yang mereka minta, Insya Allah, melantunkan suatu kisah hikayat, mampu saya lakukan. Apa pun itu. tergantung permintaan yang menggelar hajatan. Katanya lagi. Bahkan, tanpa sifat takkabur saya mampu tampil 7 hari 7 malam,” sebut Balia


Baginya, tak ada yang membanggakannya selain tampil dan memperkenalkan kembali kesenian Aceh yang hampir punah itu. Kini sosok sang traubador Tgk Adnan PMTOH seakan lahir kembali dalam diri Muda Balia.


”saya tetap akan menggeluti kesenian ini, sampai kapan pun Pak”, ujarnya. Ia merasa miris. Masalahnya, ia melihat zaman teknologi sekarang, sebagian besar budaya mulai ditinggalkan masyarakat. Saya ingin tetap menjaga itu” katanya tenang. Sebutnya seiring pesatnya zaman dan teknologi, saat ini hikayat Peeh Bantai atau kesenian Aceh lain mulai tenggelam. Bahkan perhatian cukup kurang terhadap kebanggaan peninggalan leluhur.


Terbukti setiap hajatan atau lainnya masyarakat lebih memilih hiburan peralatan canggih, seperti musik keyboard dan sebagainya. “Bukan masalah tidak diminta tampil. Tapi, kalau kita diam dan terus lihat kondisi ini, semuanya akan punah. Jadi apa yang patut dibanggakan pada anak cucu kita kelak. Hendaknya semua pihak mencurahkan perhatiannya,” ungkapnya lagi


Balia telah mempersembahkan kebanggaan bukan hanya bagi dirinya. Tetapi juga bagi seluruh warga budaya Aceh di manapun berada. Itu pula yang dikemukakan oleh Paulus Pangka SH, Senior Manager MURI bahwa rekor MURI yang diraih Muda Balia adalah juga milik warga Aceh. Betapa, kesenian Aceh itu memiliki daya tarik dan power yang tinggi. Karenanya, tambah Paulus, Aceh hendaknya dapat mengembangkan kemampuan itu sehingga meraih rekor dunia. Bahkan menurutnya, rekor yang diciptakan oleh Muda Balia itu, belum pernah ada sebelumnya.


“Di dunia pun Belum ada pembaca hikayat tradisi begitu yang bisa mencapai 26 jam. Karena itu prestasi Balia bisa disebut juga sebagai prestasi dunia,” ujar Paulus.


Ia menambahkan bahwa meskipun kita berbeda-beda, tapi dengan budaya kita menjadi satu di dalamnya. Budaya tidak melihat latar belakang, baik agama, individu, dan yang bersangkutan, tapi menjadi kesatuan yang utuh. Itulah seni budaya. MURI memberikan penghargaan ini dalam kriteria superlative.


Seniman muda ini ternyata menyimpan bakat yang luar biasa. Ia telah berkelana dari tanah kelahirannya Bakongan, Aceh Selatan berjuang menggalakkan kembali kesenian teater tutur Aceh yang sangat terkenal puluhan tahun lalu yang disebut dengan nama kontemporer: PMTOH.


Banyak orang mengatakan, Muda Balia, bagai personafikasi dari sosok Tgk Adnan PMTOH, seniman kondang yang telah almarhum. Kepiawaian Tgk Adnan, kini mungkin telah menurun pada Muda Balia. Terutama pada aspek pelantunan kisah dalam bait-bait sya-e (syair) secara otomatis. Balia bisa menyairkan hal apa saja dengan cepat. Walaupun belum sehebat Tgk Adnan, toh, Muda Balia benar-benar berbakat untuk itu.


”saya tidak bilang bahwa saya sama dengan Tgk Adnan PMTOH, namun bisa jadi banyak kesamaan yang tanpa saya sadari ada”, ujarnya. Ia juga mengaku bahwa gurunya bersyair, yang juga sudah almarhum satu guru dengan Tgk. Adnan PMTOH


Balia memang luar biasa. Dengan berbusana khas penyair bertutur, Balia pun mempersembahkan totalitas kesenian itu. Keindahan dan kekuatan vokal nya yang bulat dan lantang, mampu menyihir para penonton. Badan nya meliuk-liuk mengikuti syair apa yang di ucapkan terlihat jelas, kekuatam diksi pada bunyi yang bertaut, antara suara, tarian dan juga properti dari pelepah pisang, yang mendukung peugah haba dari Balia


Itu semua belum selesai. Sebab dalam pelantunan kisah yang bersyair itu, toh sang seniman menambahkan kekuatan imaji. Tiap bait yang berlalu diberi mimik dan karakter. Sehingga unsur teaternya tampak begitu kuat. Jadi, ada patron dramanya. Bukan itu saja. Dengarlah dengan cermat. Totalitas tontonan itu berada dalam frame birama. Dalam satu birama, maka rithme kesenian itu meluncur dalam ketukan yang teratur. Terdengar: Puk...puk.....puk, suara pukulan kayu ke atas bantal, sangat kental mengatur irama. Dari sanalah rentak bait-bait sya-e dilantunkan dalam rhitme musikal.


Muda Balia memang sudah mendekati kemampuan khas Tgk Adnan PMTOH. Jika pun kurang, adalah soal pengalaman dan trik-trik teatrikalnya. . “Kesamaan saya dengan PMTOH, karena kami sama-sama berkesenian dari satu orang guru, yakni Mak Leupe,” ujar Balia pada saya lagi


Ia pun mengaku pernah ikut sebagai sosok belakang layar dalam sejumlah show Tgk Adnan PMTOH sekitar tahun 1998, tapi tak berkesudahan. Sewaktu Adnan masih hidup, Muda Balia tak berkesempatan tampil bersama dalam satu pentas. Itulah masalahnya, mengapa Balia tak segera populer di mata publik.


Padahal, sejak duduk di kelas IV SD, sang guru, konon murid langsung dari Mak Leupe, bukan tak memberi kesempatan tampil. Walau hanya di level gampong, toh penampilan Balia selalu menjadi buah bibir. Tapi, itu cuma riwayat lama. Sekarang Muda Balia hampir pasti sudah menggantikan Tgk Adnan PMTOH di cabang kesenian ini.


Sebelum nya, Balia sempat ragu, apakah ia bisa berangkat ke Semarang, untuk langsung menerima sertifikat dari MURI. Memang setelah itu,untuk keperluan keberangkatan itu, balia tak punya dana yang cukup



“Hana peng ngon lon jak (tak ada uang saya pergi),” ujarnya. Karena bagi seorang Balia, jangan kan untuk ke Jakarta, untuk makan saja susah, ujarnya tenang. Balia tinggal di sebuah tempat, bersama anak bininya di sudut galeri tua Taman Budaya Banda Aceh. Ia tak punya uang buat sewa rumah.


Gayung bersambut. Pemerintah Aceh mendukung penuh Balia untuk bisa mengambil langsung sertifikat MURI tersebut.
Menjelang detik-detik pencatatan rekor Muri, Gubernur Irwandi Yusuf langsung menyatakan kekagumannya terhadap sang traubadur muda, dengan menyalami dan merangkulnya. Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Irwandi Yusuf juga meminta pihak Muri untuk mencatat prestasi Muda Balia dalam membawakan hikayat tsunami selama 26 jam secara non-stop itu.



“Alhamdulillah, aksi Muda Balia selama 26 jam non-stop itu akhirnya berhasil masuk dalam catatan rekor Muri. Ini semua tentu tidak terlepas dari besarnya dukungan semua pihak. Untuk itu, kami sampaikan ucapan terima kasih,” kata koordinator acara, sekaligus Manajer Balia,Teuku Afifuddin. Muda Balia yang lahir di Seunebok Alue Buloh, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan, pada 29 silam itu, mampu menyelesaikan aksi 26 jam non-stop ini dengan amat mengesankan. Tak heran, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Kapolda Aceh Irjen Pol Adityawarman, yang turut menyaksikan penampilan Balia, mengaku bangga dengan prestasi yang diukirnya itu.


Dikatakan, selain rekomendasi Gubernur untuk menuju Muri, pihak DKA dan DKB serta pihak notaris juga mengusulkan hal sama, agar Muda Balia dan seluruh bagian penampilannya itu dimaasukkan ke dalam rekor Muri Indonesia. “Kami sudah menelpon pihak Muri Indonesia dan diterima oleh Mbak Wida. Selanjutnya kami akan berangkat ke Jakarta dalam waktu dekat ini, stelah menerima konfirmasi langsung dari Ketua Muri, Jaya Suprana,” papar Afifuddin.


Ditambahkan di lokasi penampilan Muda Balia melantunkan hikayat Tsunami, di depan panggung itu, pihaknya juga membentangkan spanduk yang bertuliskan: Gerakan Sabang-Marauke Rp 1.000 untuk membayar utang negara Kesatuan Republik Indonesia. “Gubernur berpesan, hendaknya gerakan ini dilakukan pertama oleh Aceh. Selanjutnya diharapkan baru diikuti oleh provinsi lain di Indonesia,” ungkap Afifuddin.


Detik bersejarah bagi Aceh itu, tertuntaskan sudah. Muda Balia pria yang hanya “pernah” bersekolah tingkat SD itu, meraih penghormatan berkaliber dunia tersebut di gedung Museum Rekor Dunia Indonesia, Jalan Perintis Kemerdekaan No 275, Semarang. Muda tercatat sebagai penerima penghargaan MURI dengan nomor urut ke 4085.


Bagaikan sebuah mimpi indah. Tiba-tiba datang menjadi kenyataan di hadapan kita,” ujar T Kamal Sulaiman, Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA)


“saya tidak dapat menahan haru, perasaan itu bercampur bersama bangga, melihat prestasi Balia, ujar Kamal yang memang hadir bersama-sama Zoelfikar Sawang, Ketua Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB). Selain hadir sebagai orang yang mendukung Balia, Kamal dan Zulfikar juga menerima penghargaan sebagai penggagas atau pemrakarsa 26 Jam Hikayat Tsunami.


Kamal sangat berterimakasih kepada gubernur Aceh, Irwandi yusuf dan juga Wagub Ace' Muhammad Nazar. T Kamal Sulaiman yang Ketua DKA itu berulang kali menyampaikan terima kasih dan penghargaannya kepada masyarakat Aceh. Terutama kepada Gubernur Irwandi Yusuf dan Wagub Muhammad Nazar selaku kepala Pemerintah Aceh.


Terimakasih juga kepada Bapak Wali Kota Mawardi Murdin selaku Pemerintah Kota Banda Aceh yang telah mendukung prakarsa besar itu sejak awal. “Saya Sangat terharu dengan respon yang telah diberikan, sehingga impian telah menjadi kenyataan,” ujar Kamal.


Zoelfikar Sawang SH, Ketua DKB, melihat peristiwa peraihan rekor MURI itu sebagai momentum bagi semua pihak di Aceh untuk lebih peduli kepada seni tradisi. Zoelfikar meyakini, bila semua pihak memberi dukungan masíh banyak jenis kesenian tradisi Aceh yang bisa diangkat ke puncak. Ia pun tak lupa mengucap terimakasih atas berbagai dukungan yang telah diberikan, sehingga prestasi itu berhasil diraih dengan gemilang.


Setelah meraih rekor tersebut, apa lagi rencana untuk Balia? Menurut Afifuddin, yang jelas pulang ke Aceh. Tapi sebelumnya, kemungkinan besar Balia akan tampil di Jakarta. Tapi rencana untuk selanjutnya juga terus kami persiapkan, kata Afifussin. Bahkan, menurutnya kepada GATRA, kalau tidak ada aral melintang, Balia akan mencoba mengukir sejarah pada ulang tahun Indonesia yang ke 65.


Acara sudah dirancang dan dipersiapkan. MURI sudah menawarkan untuk Balia, bisa tampil berseni peugah haba di kantor MURI. Namun pilihan lain adalah tampil di tugu monas atau depan istana negara. Acara yang bertajuk “ dari Aceh untuk Indonesia” itu, akan digelar dengan menampilkan kebolehan bertutur Balia, selama 7 hari 7 malam. Pihaknya kini tengah mempersiapkan dan menghubungi pihak Guinness World Record, sekaligus menyaksikan Balia memecahkan rekor bertutur tingkat dunia, selama tujuh hari tujuh malam. Sukses Balia. Sejarah Aceh semakin berkibar, dengan namamu

Selengkapnya...

Kamis, 18 Februari 2010

Lelaki dari "Negeri Lima Menara"



















SEBUAH BUKU SAYA LIHAT di deretan Best Seller Gramedia sekitar hampir setahun yang lalu. buku itu berjudul Negeri Lima Menara. sekilas dari judulnya terlihat unik. pikiran saya menerawang dan menyangka ini buku tentang perjalanan sang penulis ke lima Negara. Ternyata tidak. Dugaan msaya melesat. Buku ini tentang kisah perjuangan penulis semasa sekolah di sebuah pesantren Madani. Penulis itu, Ahmad Fuadi

***

AWAL PEBRUARI 2010 memasuki hitungan ke delapan. Suasana Jakarta hiruk pikuk dengan demo-demo ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat kasus Bank Century yang tidak selesai sampai sekarang. Tanganku yang hampir sepuluh menit membaca sebuah novel, akhirnya berhenti dan menutup novel tersebut. Aku duduk di bangku paling belakang Trans Jakarta. Lima menit kemudian aku sampai di halte pemberhentian Ratu Plasa. Menelusuri jalan pintas dari belakang Ratu plasa, akupun sampai ditempat yang kutuju. Plasa Senayan

Ups.., waktu di jam tangan ku menunjukan pukul 13.45 menit. Hari itu tanggal 9 Pebruari 2010. Siang itu aku berjanji ketemu seseorang yang namanya sangat dibicarakan banyak orang. Bukan karena kasus, tapi karena prestasinya menulis Novel yang kini menjadi Best seller. Ahmad Fuadi

PUKUL 14.00 tepat BlackBerry ku berbunyi. Ahmad Fuadi calling, demikian terlihat di layar handphone pintar itu.

“Assalamualauikum Uda”, demikian sapa ku.

“Waalaikumsalam, sudah sampai di Plasa Senayan” demikian ungkapnya, membalas sapaan ku

“sudah Uda, saya berada tepat di taman tengah foodcort, lantai 2”, aku menjawab pertanyaanya.

Aku menunjukan tempat lewat teleponan itu, kami berjanji ketemu di depan gerai makanan jepang.
Sembari aku menutup telpon, aku melihat sosok lelaki yang muka nya persis seperti photo yang terpampang di halaman 419 novel Negeri Lima Menara. Tak salah lagi, ini pasti uda Fuad, aku membatin dalam hati

“Assalamualaikum, ini Hendra ya”, ia menyapaku ramah. Rasannya seperti ketemu dan sudah berteman lama.

“Waalaikumsalam, ia Uda. Saya Hendra”, kataku sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

Alhamduliullah, akhirnya ketemu juga, katanya tegas. Ia Alhamdulillah, kataku.

(kami berdua larut ngobrol hal-hal yang bermanfaat dan sangat membangun semangat saya)

Aku memanggilnya Uda, cukup beralasan. Ia seorang laki-laki yang berasal dari Sumatera Barat. Sebutan Uda, adalah panggilan hormat untuk laki-laki yang lebih tua dari saya. Saya sendiri punya keterikatan dengan Padang. Ayah angkat saya, M. Jamal, berasal dari Padang, dan hingga kini masih tinggal di Padang. Saya sendiri pernah beberapa kalai dalam waktu yang lama berkunjung ke Padang, untuk beberapa pekerjaan

***

Kepadaku, Uda Ahmad Fuadi, penulis Negeri Lima Menara, mengaku tidak pernah mengira novel yang ditulisnya itu akan mendapat tanggapan positif dari masyarakat.

"Saya tidak mengira respons masyarakat akan sebaik ini," kata nya

Semenjak diluncurkan pada Juli 2009, Ia mengaku sudah mendapatkan banyak undangan bedah buku yang datang dari berbagai daerah.

"Saya mendapatkan undangan bedah buku dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan dan lain sebagainya," katanya.

Ia menjelaskan, pihak yang mengundangnya dalam acara bedah buku ingin mengupas tuntas mengenai novel Negeri Lima Menara yang ditulisnya.

"Novel Negeri Lima Menara dianggap memiliki pesan moral yang inspiratif bagi sebagian orang yang membacanya," katanya.

Ia pun bercerita, novel tersebut diangkat dari kisah nyata perjalanan hidupnya yang pernah menjalani pendidikan di pondok pesantren hingga akhirnya berhasil meraih mimpi-mimpinya.

"Novel ini mengandung banyak pesan untuk tidak takut bermimpi setinggi-tingginya soal masa depan," katanya.

Novel Negeri Lima Menara merupakan buku pertama dari sebuah trilogi, dan buku keduanya masih dalam proses penulisan. (Uda Fuad menceritakan banyak hal dan cerita-cerita yang menarik, dalam Novel kedua dan ketiga yang tengah ia selesaikan)

Sekedar diketahui, Uda Ahmad Fuadi merupakan mantan wartawan Tempo dan VOA dan kini menjadi direktur komunikasi di sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang konservasi. Ia merupakan alumni pondok pesantren Gontor, lalu melanjutkan kuliah di UNPAD dan pernah mendapatkan beasiswa S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University.

"Melalui novel Negeri Lima Menara ini saya ingin mengajak generasi muda untuk tidak meremehkan impian walau setinggi apapun, terutama soal pendidikan dan masa depan," katanya. Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dalam enam bulan terakhir telah dicetak sebanyak 80.000 eksemplar.

"Ada 80.000 eksemplar yang dicetak dalam enam bulan," kata penulis novel Negeri 5 Menara, katanya pada ku

Ia tidak pernah mengira novel yang ditulisnya itu akan mendapat tanggapan positif dari masyarakat.
Bahkan, para pembaca yang tergabung dalam komunitas 5 menara telah menunjukkan eksistensinya dengan menyalurkan bantuan untuk pembangunan kembali sekolah yang runtuh akibat gempa di Kota Pariaman, Sumatera Barat.

"Proses pembangunan sedang berlangsung dan akan diresmikan tengah Februari ini," katanya.
Novel tersebut diterbitkan pertama kalinya pada Juli 2009 dan kini sudah mengalami lima kali cetakan.
Ia menjelaskan, novel tersebut diangkat dari kisah nyata perjalanan hidupnya yang pernah menjalani pendidikan di pondok pesantren hingga akhirnya berhasil meraih mimpi-mimpinya.

"Novel ini mengandung banyak pesan untuk tidak takut bermimpi setinggi-tingginya soal masa depan," katanya.

***
A. Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau tahun 1972, tidak jauh dari kampung Buya Hamka. Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah. Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.

Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh ­sungguh akan sukses. Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.

Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship.

Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.

Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.

Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.

Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling.

***
Tentang Negeri Lima Menara

”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah.

Setengah royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.

Dalam novel ini memperlihatkan betapa dominannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku itu sarat dengan endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, mulai mantan presiden, sutradara tersohor, gubernur, budayawan, intelektual, hingga pimpinan pesantren. Hampir semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal 416 halaman tersebut. Tak ada satu pun ulasan dari sudut pandang estetika sastrawi. Apakah segi-segi estetik dan artistik yang sepatutnya menjadi kriteria utama da­lam menimbang sebuah karya sastra tidak lagi penting?

Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat di Pondok Ma­dani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses).

Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulma­jid, Said, dan Atang.

Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara da­lam bahasa Arab atau bahasa Ing­gris. Bila aturan dilanggar, gan­jarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-ku­rangnya bakal dapat jeweran be­ran­tai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Sa­king kerasnya kemauan para sa­hibul-menara untuk menguasai per­cakapan dalam dua bahasa a­sing tersebut, igauan dalam tidur me­reka pun terungkap dalam baha­sa Arab.

Dengan deskripsi ruang yang nya­ris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pe­santren modern yang selama ini ha­nya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan hu­mor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah pelbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren putri, sekadar ''nampang''.

Begitu pula siasat Dulmajid yang me­mengaruhi ustad Torik agar ber­oleh izin nonton bareng per­tandi­ngan final bulu tangkis di ling­ku­ngan PM, padahal qanun (atu­ran pondok) menegaskan, san­tri PM dilarang menonton TV. ''Us­tad, lob antum itu mirip sekali de­ngan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran lang­sung besok malam.''

Ustad Torik langsung takluk dan ter­jadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terha­dap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepenti­ngan masing-masing.
Tak dimungkiri bahwa di balik ki­sah yang digarap Uda Fuad dalam bu­­­ku ini, ada pengalaman empiris, ka­­­takanlah semacam fakta-fakta ke­­ras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pe­­ngi­sa­hannya.

Tapi, dalam kerja ke­pe­ngarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh ima­ji­nasi sehingga tidak bisa lagi di­lihat de­ngan kacamata hitam-pu­tih, tidak bisa diukur secara positi­vistik. ''Ima­jinasi'' di sini bukan da­­lam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara' Ahl Ma­­dinah Wa Al-Fadhi­lah, me­nye­but­nya quwwatul mutta­khilah, se­macam potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman em­­p­iris dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ''fantasi'' -yang tidak perlu berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epis­temologi Al-Farabi, ''imajinasi'' dalam batas-batas tertentu bahkan da­pat melampaui pencapaian akal-bu­di dan pengalaman empiris itu sendiri.

Maka, dunia imajiner dalam Ne­ge­ri 5 Menara bukan lagi semata-ma­ta dunia A. Fuadi dan sejawat-se­ja­watnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan re­uni bersejarah di Trafalgar Square, Lon­don, -setelah 15 tahun masa-ma­sa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferen­si di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara ba­kal menggenggam impian masing-ma­sing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses. (referensi Damhuri Muhammad)

***

Tak terasa 3 jam kami diskusi dan ngobrol banyak hal, termasuk rencana-rencana besar nya tentang upaya, agar proses penggarapan film novel Nageri Lima Menara. Kami berpisah karena waktu tak memungkinkan. Uda Fuadi sudah punya janji dengan beberapa orang lagi tentang urusan pekerjaan nya. Kami berpisah di lift lantai dua menuju lantai satu. Setelah bersalaman, kami berpisah. Aku melihat lelaki dari Negeri Lima Menara itu tersenyum semangat. Di setiap langkahnya kuliahat semangat dan harapan, yang akan kuceritakan kepada anak-anak didiku dikampus. Mari menjadi menara-menara yang hebat bagi masyarakat dan umat. semoga Selengkapnya...

Minggu, 07 Februari 2010

Bangkit dengan daya Sendiri

















TIDAK MUDAH memasuki kawasan Desa Indah di kecamatan Jagong Jeget, Aceh Tengah. Jaraknya dari Kota takengon adalah 60-70 kilometer. Jarak nya dari Banda Aceh sekitar 522 kilometer. Jalan nya berdebu karena terdiri Dario bebatuan dan pasir, belum kunjung dilapisi aspal

Pada saat terjadi bencana yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004, kawasan yang merupakan hasil pemekaran Kecamatan Linge ini tak luput jadi korban pula. Banyak rumah warga runtuh akibat guncangan berkekuatan 9,1 pada skala richter itu

Namun warga setempat tak mau diam berpangku tangan. Pasca- gempa di Aceh, lima tahun silam, masyarakat Desa Jagong Jeget mulai berbenah. Mereka memperbaiki rumash dan lingkungan yang rusak. Demikian pula dengan jalan, guna memudahkan orang-orang luar melintasi desa mereka. Semua dikerjakan dengan cara bergotong-royong

Patah tumbuh hilang berganti. Mungkin pepatah itu sangat cocok dengan apa yang dialami warga yang bernama Marlan, 46 tahun. Dengan susah payah, bersama teman-teman nya, marlan yang berprofesi sebagai guru itu mencoba bangkit. Ia dan sejumlah warga lain nya segera memperbaiki rumah-rumah yang rusak dan tempat tinggal dengan bantuan minim dari pemerintah

Tentu saja langkah itu tidak gampang. Sebab, untuk melakukan kegiatan berbenah itu, rata-rata warga harus menempuh perjalanan 20-30 kilometer menuju tempat pertemuan, musala atau masjid, untuk sekedar mengikuti rapat-rapat koordinasi guna merancang perbaikan. Namun , bagi mereka, jarak yamng jauh tidak menjadi masalah. Terkadang mereka urunan uang untuk menyewa labi-labi, mobil angkot di Aceh

Angkot itu disewa seminggu dua kali. Perjuangan yang tidak gampang. Tapi mereka melakukannya dengan ikhlas dan hati gembira. Padahal, jika dibandingkan dengan hasil tani yang mereka dapat tidak seimbang dengan ongkos yang mereka keluarkan.

“Alhamdulillah, warga kami sangat semangat dan tidak mengeluh dengan kondisi ini,” ujar Wisnu hadi Broto, 33 tahun, seorang warga Desa Jagong Jeget.

Lelaki asal Klaten, Jawa Tengah itu tidak pernah menyiratkan wajah susah ketika berbincang dengan saya. Menurut lelaki ramah yang biasa dipanggil Mas Wisnu itu, kendala jarak yang begitu jauh membuat sebagian warga tidak betah tinggal di sana. Hingga kini, di tempat dia tinggal terdapat tujuh kepala keluarga, delapan remaja, dan 15 anak-anak. Selengkapnya...

Ketika Tanah Bergoyang dan Air Bah Menerjang

























Pat Ujen yang Han Pirang, Pat Prang Yang Han reda / tidak ada hujan yang tidak berhenti, tak ada perang yang tak selesai

Peribahasa Aceh di atas, mengungkapkan betapa panjang nya konflik di Aceh, tiga puluh dua tahun, di susul Gempa dan gelombang pasang tsnunami, 26 Desember 2004. Atas kehendak Allah, semua bias selesai dan reda

***
Bumi Aceh berguncang keras pada pagi hari, 26 Desember 2004. Tapi gempa berkekuatan 9,1 pada skala Richter itu tak membuat Syarifudin Latief beranjak dari Lapangan Blang Padang. Pejabat Wali Kota banda Aceh itu masih setia menunggu acara penyerahan piala bagi pemenang Lomba Lari Marathon 10 Kilometer yang digelar Dinas Pemuda dan Olah Raga Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (kini berubah menjadi Provinsi Aceh). Sedianya, dialah yang akan menyerahkan langsung piala itu kepada para pemenang

Syarifuddin tak ambil pusing ketika beberapa atlet berbalik arah dan mengabaikan rute yang ditentukan. Satu hal yang belum dia dan banyak oramng lain sadari, gempa itu adalah awal sebuah tragedy besar yang menguras air mata dunia. Ia baru terkesiap setelah melihat ribuan orang berlarian tak terkendali dari arah Pantai Ulee Lheu. Mereka berteriak, “Air laut naik, air laut naik, air laut naik,” sambil menunjuk kea rah langit bagian barat Banda Aceh.

Syarifuddin menoleh dan melihat ombak setinggi pohon kelapa bergulung-gulung kea rah dirinya. Dia berlari sekuat tenaga. Tetapi Nahas, gelombang yang kecepatan nya mencapai 300 kilometer per jam itu lebih sigap menyergap, lalu memintal tubuhnya. Kisah selanjutnya, orang nomor satu di jajaran Pemerintah Kota Banda Aceh itu hilang terbenam lumpur dan puing tsunami

Pada hari ke-10 setelah bencana, pelaksana tugas (plt). Gubernur Aceh, Azwar Abubakar (sekarang anggota DPR- RI), menggelar apel perdana di halaman kantor Sekretariat Daerah (setda) Provinsi Aceh. Apel terpusat yang semestinya menjadi apel akbar itu hanya dihadiri 20 % pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, di setda Aceh saja tercatat ada 7.110 PNS

Semua yang hadir terenyak. Apalagi, tidak ada berita tentang nasib para pegawai yang absen dalam apel itu. Semua kepala menyimpan tanya : apakah mereka tewas, hilang atau mengalami trauma berat sehingga tak menampakkan diri? Lebih miris lagi, menurut Detiknews, 4 januari 2005, sebanyak 21 Bupati dan Walikota di aceh tidak diketahui rimbanya

Belakangan tersiar kabar, ternyata korban gelombang dahsyat itu bukan hanya Walikota Banda Aceh. Nasib serupa menimpa Bupati Nagan Raya, Bupati aceh barat, serta sejumlah anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kabupaten / kota. Di Lingkungan setda Provinsi Aceh saja, ada tiga pejabat eselon II yang meninggal, 31 orang pejabat eselon III, 125 pejabat eselon IV. Jumlah aparatur pemerintah yang tewas pada Minggu kelabu itu mencapai 2.992 orang dan 2.274 orang dilaporkan hilang

Di tingkat kabupaten dan kota, korban aparatur Negara terbanyak berada di daerah-daerah yang terkena hantaman langsung gelombang tsunami seperti Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Besar, dan Kota Banda Aceh. Selain pegawai pemda, aparatur pemerintah di sejumlah instansi, seperti Badan Pertanahan nasional, Kejaksaan Agung, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, tak luput dari serbuan tsunami.

Hilangnya jajaran pemimpin daerah dan ribuan aparatur pemda itu, menyebabkan koordinasi penanganan pasca –bencana di masa awal sangat sulit. Aparatur pemerintah yang selamat tentu saja masih banyak, tetapi mereka berada dalam kondisi yang tidak berdaya sama sekali. Banyak PNS bersama keluargannya terpaksa hidup di tenda-tenda darurat dan mengalami trauma berat akibat kehilangan sanak keluarga, tempat tinggal, dan harta benda. Akibatnya, boleh dikatakan, tak ada yang menangani pelayanan publik

Aceh mendadak menjadi antah berantah bersimbah lumpur, dengan banyak bangunan hancur dan jasad berserakan di antara isak tangis para korban yang selamat. Pemerintah pusat lantas mengerahkan 74 pejabat eselon I-IV Depdagri, 307 pegawai dan 352 mimdya praja ke Aceh untuk memutar kembali roda birokrasi. Mereka ditugasi di kantor gubernur, DPRD, kabupaten, kota, kecamatan, dan desa agar masyarakat terlayani

Penyebaran aparatur itu sangat tepat, karena 50 % kecamatan lumpuh dan batas-batas administrasi pedesdaan tak tampak lagi. Mereka terpaksa bekerja di tempat-tempat darurat, seperti rumah penduduk, tenda dan sekolah, atau menggelar tenda-tenda darurat, agar masyarakat yang membutuhkan bantuan dapat segera terlayani, meski dalam kondisi minimal.

Tsunami tidak hanya menjemput ajal ribuan pegawai, melainkan juga menghancurkan semua bangunan di sepanjang 800 kilometer garis pantai Aceh. Kondisi paling parah dialami Kabupaten Aceh Jaya, dengan tingkat kerusakan mencapai 85 %, di susul oleh Kabupaten Aceh Besar (80 %), Banda Aceh (75 %), dan kabupaten Aceh Barat (60%). Tak kurang dari 940 bangunan kantor dan 238 kendaraan berbagai dinas atau lembaga vertical bidang kelembagaan, hokum, keamanan, ketertiban, dan ketahanan masyarakat musnah tersapu tsunami

Dalam tiga bulan pertama masa tanggap darurat, pelayanan public dari pemda praktis lumpuh. Ketika badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara resmi berdiri pada 16 April 2005, kemacetan pelayanan pemerintahan masih sangat terasa. Pemerintahan daerah dikendalikan sepenuhnya oleh Plt. Gubernur NAD, Azwar Abubakar. Sedangkan Gubernur NAD, Abdullah Puteh, sedang mendekam di “hotel prodeo” Sukamiskin, bandung, karena kasus korupsi

BRR lantas mengambil alih koordinasi dan mulai membenahi kembali semua lini pemerintahan. BRR berkoordinasi dengan Plt. Gubernur NAD untuk menata kembali pemerintahan berdasarkan Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Upaya pemulihan pun dilakukan dengan mengangkat pegawai baru di lingkungan pemda untuk mengisi kekosongan aparatur yang meninggal atau hilang ; mengganti peralatan kantor, sarana, dan prasarana yang lenyap; membenahi administrasi kependudukan warga;serta mulai menyusun rencama untuk membangun kembali lembaga-lembaga pemerintahan daerah dan kantor-kantor instansi vertical yang hancur Sebenarnya tsunami telah melambungkan persoalan kronis bidang pemerintahan kelembagaan daerah ke permukaan sehingga menjadi benderang. Akar permasalahan kelembagaan dan system pelayanan public di aceh sesungguhnya terse mai sejak 30 tahun silam, lantaran terjadi konflik bersenjata berkepanjangan

Sepanjang riwayat konflik di Aceh, sejumlah kantor pemerintah di bakar oleh mereka yang bertikai. Konflik bersenjata antara TNI dan GAM juga menewaskan sejumlah PNS. Selain itu, gerakan politik sipil yang terseret ke arus pusaran konflik tersebut, kerap mengeluarkan seruan mogok kerja di instansi pemerintah. Akibatnya, pelayanan publik sering terganggu dan system pemerintahan di Aceh timbul tenggelam sejak lima tahun sebelum tsunami

Tingkat kemiskinan di aceh sebelum dilanda tsunami mencapai 28,4 % dari total penduduk, sebanyak 4 juta jiwa. Angka kemiskinan itu sangat tinggi bila dibandingkan dengan angka kemiskinan rata-rata nasional, yang mencapai 16,69 %, menurut data badan Pusat Statistkc (BPS) pada Maret 2008

Sementara itu, Bappenas menggolongkan 16 Kabupaten di Aceh sebagai daerah tertinggal, kecuali Kota Madya Banda Aceh, Sabang,. Lhokseumawe , dan Kota Madya Langsa. Angka indeks pembangunan manusia (IPM) Aceh, sebesar 69, berada di bawah IPM Nasional yang mencapai 69,6. IPM terendah tercatat di pesisir barat dan bagian tengah, Yaitu Kabupaten imeulue (65,2), Gayo Lues (66,1), Nagan Raya (66,3), Aceh Singkil (66,5), Aceh jaya (66,8), Aceh Barat Daya (66,9), dan Bener Meriah (67,4). Wilayah Aceh bagian tengah menjadi kurang makmur di bandingkan dengan pesisir utara, karena terisolasinya kawasan tersebut dari berbagai jaringan akses dengan dunia luar

Peta kemiskinan di Aceh berubah menjadi lebih buruk pasca tsunami. Sebelum nya, aceh tercatat sebagai daerah dengan penduduk miskin terbanyak di Indonesia setelah Provinsi Gorontalo, Maluku, dan Papua. Tsunami mendongkrak jumlah penduduk miskin sekitar 7 % dan menjadikan Aceh hanya unggul satu tingkat di atas Provinsi Papua.
Selengkapnya...

Jumat, 05 Februari 2010

Lima Tahun Setelah Tsunami, Lalu...


LIMA TAHUN SILAM, persisnya 26 Desember 2004, adalah saat yang paling menyesakkan bagi bangsa Indonesia. Hanya dalam hitungan tak sampai setengan jam, gempa besar dan gelombang tsunami memorak-porandakan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Tak hanya bangunan dan infrastruktur yang hancur. Bencana itu pun memakan korban lebih dari 200.000 jiwa. Puluhan ribu orang kehilangan orang tua, anak, sanak saudara. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal yang musnah ditelan air bah. Kini, lima tahun pasca-bencana, kondisi Aceh mulai pulih, walau disana-sini masih tersisa masalah. Aceh tengah menggeliat, berusaha menghidupkan kembali seluruh sendi kehidupan yang terhempas oleh bencana paling dahsyat dalam millennium baru ini.

***
HUJAN yang mengguyur kedai kopi “Chek Yuke” di jantung Banda Aceh itu mulai reda. Aroma tanah basah yang merasuk ke dalam menambah hangat obrolan para pengunjung kedai. Termasuk saya, yang terlibat obrolan hangat dengan lelaki usia 40 an tahun

Lelaki kekar yang sesekali menyeruput kopi hitam itu bernama Fadli Abdullah. Perawakan nya “subur” dan tegap. Sekilas, sosoknya terkesan angker dan tak bersahabat. Setelah berkenalan dan mengobrol panjang, kesan itu mengaup sama sekali. Ia sosok yang hangat, enak diajak bicara, dan tak sungkan menuturkan beragam kondisi yang dia alami

Fadli mengaku baru lima tahun belakangan ini merasa bias menikmati perikehidupan sosisl yang normal, bebas dan tenang. Sebelumnya suasana seperti ini tak dia rasakan dibumi yang juga disebut “tanah rencong” itu. Fadli, lelaki asal Matang, desa kecil di Kabupaten Bireuen, hidup bergerilya di hutan sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

“saya termasuk warga yang ikut menikmati runtuhnya isolasi Aceh. Dibandingkan dengan masa penerapan Daesar Operasi Militer (1988-1999), disusul daerah Tertiib Sipil (2002-2005), hidup di Aceh sekarang lebih tenang. Kini segala sesuatunya relative lebih mudah” ungkap dia membuka pembicaraan kami

Sambil bicara, ia menunjuk sekelompok anak muda yang duduk meriung di meja sebelah kami. “coba lihat mereka. Dulu, mana berani mereka kumpul-kumpul, bersorak-sorak dan tertawa-tawa lepas”, katanya lagi

KEDAI KOPI ZONA DAMAI

Bagi masyarakat Aceh, kedai kopi bukan semata-mata ttempat minum kopi. Tempat itu sering menjadi saksi “pertemuan” antara anggota TNI , mantan personel GAM, dan tokoh masyarakat dimasa konflik. “Bisa dibilang, kedai kopi ini zona damai. Di hutan boleh kita bertikai, tembak-menembak, tapi disini kita berdamai,” katanya sambil tersenyum

Kedai kopi merupakan bagian tak terpisahkan pula dari Budaya Aceh. Inilah tempat persinggahan yang hangat. Semua lapisan masyarakat menikmati dan seperti tergantung akan kehadirannya

Di rumah, mereka jarang sekali menyediakan bubuk kopi siap seduh. Siapa pun yang ingin ngopi meski melangkah menuju kedai. Minum kopi seperti minum air putih bagi kami. “wajib hukum nya”, tutur Fadli
Secangkir kopi seharga Rp 4.000 seperti tak pernah habis menjadi teman mengobrol sampai berjam-jam. Terkadang sambil mengunyah kue timpan dan pulut, penganan khas dari tepung ketan yang dibungkus daun pisang

Fadli kembali mengenang, kehidupan social seperti itu jarang sekali terlihat semasa Aceh masih dilanda konflik dan beberapa waktu setelah dilanda tdunami pada 26 Desember 2004. “Damai dan tsunami menjadi titik awal untuk bangkit kembali dari ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi”, ia menegaskan

EKONOMI MULAI PULIH

KEDAI KOPI boleh dibilang menjadi penanda utama bahwa roda perekonomian Aceh mulai bergulir lagi setelah mati suri dihantam tsunami. Hanya dua hari setelah tsunami, pada saat hamper semua bisnis macet, dua kedai kopi kembali beroperasi di Banda Aceh. Satu berlokasi di Ulee Kareng, satu lagi di kompleks Pasar Ateuk Pahlawan

Perekonimian yang mulai pulih juga dirasakan Saiful Azhari, pengusaha baju kaus yang punya toko sebagai ruang pajang. Sebuah pesawat radio tua bikinan Jepang menghiasi satu sudut toko berukuran 6 x 10 meter tersebut. Aneka poster berukuran sedang dn kecil dengan gambar beragam desain kaus pun menghiasi seluruh dinding ruangan.

Pagi itu, sekitar pukul Sembilan, saiful sudah siap mengantar barang dagangan kepada pelanggan yang memesan baju kaus nya. Para pemesan bukan hanya didalam kota, melainkan juga di daerah sekitar Banda Aceh, bahkan sampai ke Jawa. “Dengan bisnis inilah aku mampu membiayai adik-adik,” kata lelaki berusia 29 tahun ini

Saiful yang akrab disapa Bewok itu, merintis usaha ini bersama istrinya, Ratnasari Dewi. Perempuan asal Jakarta ini dikenalnya setelah tsunami melanda Aceh. Pada waktu itu Dewi bekerja untuk sebuah lembaga International yang ikut berkiprah membantu korban bencana. Saiful sendiri kehilangan Ayah dan Ibu nya yang ditelan air bah pada hari yang paling menyesakan bagi warga Aceh itu. Dialah yang mengambil alih tanggung jawab menghidupi adik-adiknya. Kini bersama Dewi, ia membiayai dan menyemangati adik-adik nya untuk menyelesaikan kuliah

Namun, dibalik suasana yang tampak telah pulih di Banda Aceh itu, masih tersisa sejumlah masalah menggantung. Gubernur Provinsi Aceh, Irwandi Yusuf, menyebutkan bahwa ada empat persoalan yang belum terselesaikan setelah lima tahun musibah tsunami melanda wilayah itu

EMPAT PERSOALAN TERSISA

IRWANDI tidak menafikan keberhasilan yang sudah diraih badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Badan yang dibentuk pemerintah beberapa waktu setelah tsunami ini memang bertugas memulihkan kondisi wilayah yang terkena bencana.

“tugas yang dilakukan BRR memang menuai banyak sukses, tapi masih juga menyisakan empat persoalan yang harus dituntaskan,” katanya pada acara puncak renungan lima tahun tsunami di Pelabuhan Ulee Lhue, Banda Aceh, 26 Desember 2009 yang lalu

Ia merinci keempat masalah yang belum tuntas itu. Pertama adalah pembangunan kembali infrastrukturstrategis, seperti jalan dan jembatan. Meliputi jalan barat – selatan, lintas tengah, jalan provinsi dan kabupaten. Panjang total jalan yang masih harus dibangun sekitar 1.160 kilometer

Ia merinci keempat masalah yang belum tuntas itu. Pertama adalah pembangunan kembali infrastruktur strategis, seperti jalan dan jembatan. Meliputi jalur lintas barat-selatan, lintas tengah, jalan-jalan provinsi dan kabupaten. Panjang total jalan yang masih harus dibangun sekitar 1.160 kilometer

Kedua, pembangunan ekonomi strategis dan ketenagakerjaan. Ketiga, pembangunan social kemasyarakatan dan kelembagaan. Keempat adalah kegiatan pendukung lian nya. “ Ke depan tantangan yang kami hadapi sangat beragam. Namun tantangan tersebut bias kami hadapi dengan semangat kebersamaan dan kerjasama yang baik,” katanya

Tak bias disangkal pula, bencana gempa dan tsunami itu telah mengikat tali persaudaraan manusia di muka bumi melalui solidaritas kemanusiaan. “ Tsunami itu pula yang mempercepat langkah setiap pihak untuk menuju meja perundingan danmengakhiri konflik Aceh, “ Irwandi menambahkan

Selain itu, Tsunami juga telah melahirkan kesadaran umat manusia untuk membantu membangun kembali Aceh dari keterpurukan dan kehancuran melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi selama empat tahun (2005 – 2009). “ perhatian masyarakat nasional dan internasional selama lima tahun tersebut telah menghasilkan berbagai kemajuan dan mendorong masyarakat Aceh untuk bangkit kembali,” ujarnya

MASALAH UTAMA PARA PENGUNGSI

Irwandi lalu merinci pencapaian selama lima tahun proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Ia menyebut, antara lain, pembangunan 124,454 unit rumah permanen, 3.005 kilometer jalan dan 226 unit jembatan. Selain itu, telah dibangun pula 1.450 gedung sekolah, 979 kantor pemerintah, 12 bandar udara, 20 pelabuhan laut, dan perbaikan lahan pertanian seluas 103.273 hektare

Namun, dibalik itu semua masih tersisa masalah lain yang tak disinggung Irwandi. Masih terdapat ribuan warga yang tinggal di tempat-tempat penampungan sementar korban tsunami. Mereka belum mendapat jatah rumah yang sejak awal dijanjikan, kendati semua terdata

Tengok saja kawasan penampungan yang ada di sekitar Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. “ Sudah lima tahun kami belum mendapatkan rumah bantuan yang dijanjikan dulu,” kata Ardi, 31 tahun, seorang korban tsunami yang tinggal disitu

Ardi mengaku, semua data sudah dilengkapi untuk syarat mendapatkan rumah itu. Tanahnya pun masih ada di desa itu, yang hanya beberapa meter dari pinggir laut. Namun, sampai saat ini, dia tidak mengerti kenapa belum mendapatkan rumah.

Di tempat penampungan sementara itu, ardi tinggal bersama istrinya. Seorang anaknya meninggal ketika tsunami menerjang, lima tahun silam. Tsunami juga merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Ardi pun membeberkan, dulu BRR pernah mengabarkan bahwa dia telah mendapatkan bantuan rumah di komplek relokasi warga korban tsunami di Desa Labuy, Aceh Besar. “ tetapi pada saat saya datang kesana, rumah yang katanya untuk saya tidak ada, sudah ditempati orang lain. Saya tidak mau ribit-ribut, terpaksa saya tinggal di barak lagi,” ujarnya

Hal yang sama diutarakan Nurdin. Lelaki berusia 36 tahun ini sampai berani bersumpah bahwa dia belum mendapatkan rumah. “ Saya berhak atas rumah karena saya korban seperti yang lain. Semua data dan syarat telah saya kantongi, tapi rumah belum saya peroleh,” katanya kesal

Sampai saat ini, mereka masih berharap mendapatkan bantuan rumah sehingga tidak perlu lagi tinggal di tempat penampungan sementara.

“Sudah lima tahun tsunami, kami hanya mendapatkan janji-janji, “ tutur Burhan, warga korban tsunami lainnya.

PROSES MASIH PANJANG

Terkabar, bersamaan dengan acara yang digelar di Ulee Lhue, berlangsung unjuk rasa warga di Meulaboh. Mereka yang berunjuk rasa membawa bendera Gerakan Pejuang Rumah Tsunami itu mengaku korban tsunami yang belum mendapat bantuan rumah. Menurut catatan mereka, masih ada 1.569 warga korban tsunami di Aceh Barat yang tinggal di penampungan sementara

Ketua badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA), Iskandar, mengakui fakta bahwa masih ada warga korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. BKRA adalah lembaga yang melanjutkan tugas-tugas BRR yang dianggap belum tuntas. Tugas BRR sendiri berakhir April 2009

Iskandar mengucapkan, banyak pengaduan yang masuk dari masyarakat soal belum adanya rumah bantuan. Terdapat sekitar 200 pengaduan masyarakat yang mengaku sebagai korban tsunami. “ BKRA memegang data awal, semasa BRR masih ada. Bantuan rumah umumnya sudah teratasi. Hanya sekitar 3.200 rumah lagi yang masih diperlukan,” ujarnya

Iskandar mengatakan, untuk mengatasi persoalan itu, dibutuhkan koordinasi yang kuat dengan para bupati dan wali kota di Aceh. Data masih perlu diverifikasi ulang. Jika ada korban tsunami yang benar-benar belum mendapatkan rumah, BKRA akan mengajak donor maupun pemerintah Aceh untuk membantu melalui program lain. Misalnya program pembangunan rumah kaum dhuafa maupun proyek rumah bantuan dari para donor

Memiliki masalah yang tersisa, proses rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemulihan Aceh masih akan makan waktu panjang. Demikian pula beban tugas yang di emban BKRA masih cukup berat. Agaknya belum bias diperkirakan kapan tepatnya upaya rekonstruksi, rehabilitasi dan pemulihan Aceh tuntas seluruhnya. Selengkapnya...

Kamis, 04 Februari 2010

coba publikasi

cuma percobaan... Selengkapnya...

Dari Muhammad Yunus untuk kaum miskin


Muhammad Yunus

oleh : Hendra Syahputra

SETIAP AKHIR PEKAN saya selalu menyempatkan diri membaca buku. Membaca buku, merupakan semacam perjalanan batin saya setelah berkutat dengan kerja yang ritmenya tak pernah bisa ditebak. Jadi, akhir pekanlah waktu yang saya persiapkan untuk memenuhi hobi saya, yaitu membaca.

Minggu ini saya mengulang yang keenam kali, membaca buku Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin. Nama Muhammad Yunus, tentu tidak asing lagi bagi kita, apalagi setelah beliau mendapat nobel perdamaian. Namun kisah yang ditorehkan sosok lelaki Pakistan tersebut, tidak sembarangan. Mendunia dan spektakuler

Pantas ketika Hugo Chavez, presiden Venezuela menyebut Muhammad Yunus sebagai “teladan perjuangan melawan kemiskinan” pada tahun 2006 yang lalu. Saya jadi bertanya-tanya, apa yang telah beliau lakukan buat negara dan perekonomian Bangladesh sampai bisa menggugah dunia dan menjadi obyek percontohan buat negara- negara berkembang seperti Indonesia. Rasa penasaran saya terobati setelah membaca buku Muhammad Yunus, Bank Kaum Miskin tersebut.

Meskipun buku ini lebih merupakan dokumentasi perjalanan hidup seorang Muhammad Yunus dengan visi, nilai-nilai dan jiwa nasionalisme yang luar biasa, namun saya bisa belajar bahwa keinginan kuat untuk maju, dan impian satu orang saja bisa mempengaruhi banyak orang bahkan bisa mempengaruhi suatu negara atau dengan kata lain Changing the world (merubah dunia-red). Muhammad Yunus sendiri merupakan dekan Fakultas Ekonomi sebuah Universitas terkenal di Bangladesh.

Bencana kelaparan yang melanda negerinya, membuat beliau memutuskan untuk keluar dari kampus dan belajar mengenai ekonomi langsung dari masyarakat desa. Muhammad Yunus merasa, teori-teori ekonomi yang diajarkannya di kampus tidak menggambarkan kondisi riil yang ada. Saat itu beliau merasa bahwa keberadaan kampus dan seluruh pendidikan yang diajarkannya tidak memberikan pengaruh terhadap kehidupan rakyatnya, padahal, seharusnya pendidikan bisa bermanfaat paling tidak untuk masyarakat di sekelilingnya. Disinilah, Muhammad Yunus mempelajari teori ekonomi baru dari orang-orang miskin. Muhammad Yunus berusaha untuk mulai memberikan kredit tanpa agunan kepada kaum-kaum miskin terutama wanita melalui Grameen Bank atau Bank pedesaan yang didirikannya.

Selama lebih dari 24 tahun berdiri, Grameen Bank telah berhasil memberikan kredit kepada 7 juta orang miskin di Bangladesh yang 58 persen peminjamnya berhasil diangkat dari kemiskinan.

Dari buku tersebut, kita jadi mengetahui perjalanan beliau dalam mendirikan bank ini, serta hal apa yang mendasari hingga Muhammad Yunus menciptakan jenis bank model baru. Cerita perjuangan Muhammad Yunus menjadi bagian paling menarik dari buku ini, karena begitu mengharukan, menyentuh dan menggugah rasa empati kita.

Dalam buku tersebut juga dijelaskan, bagaimana Muhammad Yunus mendebat, membujuk dan meyakinkan kaum mapan di sana untuk ikut bergerak mengentas kemiskinan.

Cerita seperti itu membuat saya mengeluh dalam hati, ketika beberapa anak-anak muda yang saya temui dan saya ajak berdiskusi, menunjukkan wajah bengong mendengar nama tersebut. Kemana saja mereka selama ini? Apa saja informasi yang ia kunyah sehingga nama Muhammad Yunus dan Grameen Bank tidak pernah didengarnya?

Beliau adalah pemenang Nobel Perdamaian 2006 atas usahanya yang tidak mengenal lelah mengentaskan kemiskinan di Bangladesh dengan mendirikan Grameen Bank, bank khusus untuk dan milik orang miskin. Saya mengagumi orang hebat ini ketika pertama kali membaca beritanya bertahun-tahun lalu. Sebagai ‘lulusan’ orang miskin, saya tahu betapa jarangnya orang yang mau mendedikasikan dirinya untuk membantu orang miskin. Dunia dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk mencari kekayaan sendiri dan menganggap orang miskin adalah penyakit sampah yang harus dicurigai dan dijauhi.

Cerita tentang Muhammad Yunus dan Grameen Banknya sangat banyak kita temui di berbagai media. Saya sudah pernah membaca bukunya, artikel-artikel tentangnya, dan bahkan menonton acaranya di Oprah Show. Saya menonton hampir tak berkedip. Ketika Oprah bertanya mengapa ia percaya bahwa orang miskin akan bisa membayar pinjaman tanpa kolateral alias agunan. Muhammad Yunus hanya menjawab singkat, dan membuat seluruh dunia mengaguminya: “Fakta bahwa mereka adalah manusia sudah cukup bagi kita untuk mempercayainya.” Jawaban yang bisa saja tidak pernah terlintas di benak siapapun sebelumnya, sangat humanis.

Di buku tersebut, Muhammad Yunus, sang Professor di Fakultas Ekonomi Chittagong, menceritakan pengalaman hidupnya. Beliau pertama kali bersentuhan langsung dengan kenyataan hidup di luar kampusnya ketika Bangladesh terkena bencana kelaparan. Ia sangat terkejut menemui kenyataan bahwa keluarga miskin di sekitar kampusnya sebetulnya hanya butuh bantuan uang sangat sedikit untuk dapat mengubah hidup mereka.

Ketika beliau memutuskan untuk membantu para ibu yang miskin tersebut dengan meminjaminya uang untuk modal. Beliau berhasil mengumpulkan 42 orang dengan jumlah pinjaman kurang dari US$27. “Ya, Tuhan! Ya Tuhan! seluruh derita semua keluarga itu hanya karena tidak ada uang dua puluh tujuh dollar!” serunya dalam hati. Malamnya ia tidak bisa tidur karena merasa muak dengan dirinya sendiri. Ia sangat shock menemui kenyataan betapa ia mengajarkan teori-teori indah tentang ekonomi dan bicara tentang uang ratusan juta dollar, sementara di luar kampusnya, ia menemui orang-orang yang begitu miskinnya karena terjerat oleh rentenir.

Beliau kemudian memutuskan untuk mendirikan Grameen Bank, Bank for the Poor, untuk membantu para orang miskin tersebut.

Cerita di buka tersebut mengalir begitu indahnya, dan suasana menjadi hening karena it’s so absorbing (ini sangat menarik). Rasanya semua orang menahan nafas mendengar ceritanya. Saya menahan nafas berkali-kali. It’s so dramatical (ini sangat dramatis). Saya seolah melihat dan mengalaminya sendiri bagaimana beliau memperjuangkan bank bagi orang miskin tersebut meski mendapat penolakan terus menerus dari para bankir. Pada beberapa bagian, diam-diam, saya menangis dalam hati karena kisahnya begitu menyentuh. I am really touched by his story (saya sangat tersentuh dengan cerita leleki itu) . Suatu ketika datang seorang eks napi ke Grameen Bank untuk minta pinjaman juga sebagaimana orang-orang lain. Staff Muhammad Yunus kebingungan menghadapinya. Eks napi ini sangat terkenal reputasinya sebagai seorang kriminal dan mempercayainya adalah tidak masuk akal.

Tapi staf bank juga tak berani menolaknya karena takut eks napi tersebut marah dan mengamuk. Ia minta bantuan Muhammad Yunus untuk mengatasi masalah tersebut. Muhammad Yunus memintanya untuk menemuinya dan tidak perlu takut. “Ia adalah manusia juga seperti kita,” kata kepada staffnya. Kalau ada lima orang lain di desanya yang mau menjaminnya (ini adalah sistem yang berlaku di Grameen Bank sebagai ganti dari kolateral), maka dia layak untuk mendapat pinjaman seperti orang desa lainnya. Jadi Grameen Bank memberinya pinjaman dan eks napi ini membayar cicilannya seperti orang-orang miskin lainnya. Ia kemudian menjadi pemimpin kelompok, sampai menjadi kelompok yang lebih besar. Ia tak pernah lagi melakukan tindakan kriminal sejak mendapatkan pinjaman dari Grameen Bank.

Grameen Bank telah mengubah hidupnya! Ketika beliau ditanya apa tindakan yang ia lakukan jika ada nasabah miskinnya yang tidak dapat membayar. Bank lain tentu akan menyita apa saja yang dimiliki oleh nasabah ‘bandel’ tersebut. Tapi di Grameen Bank tidak seperti itu. Tidak ada kolateral atau agunan. Lagi pula nasabahnya adalah orang-orang miskin yang tidak punya harta benda yang bisa disita. “If anybody cannot pay, you should come and help him more, not punish him.” Jawabnya.

Mereka tidak membayar karena memang tidak bisa membayar dan itu berarti mereka dalam kesulitan dan lebih memerlukan pertolongan daripada sebelumnya. Mereka harus ditolong dan bukannya dihukum.

Betapa benarnya kata-kata itu. Kredit mikro bukanlah obat ajaib yang bisa menghapuskan kemiskinan dalam sekali tenggak. Tetapi kredit mikro bisa mengakhiri kemiskinan banyak orang dan mengurangi penderitaan orang-orang lainnya. Jika digabungkan dengan program-program inovatif lainnya dalam meningkatkan potensi masyarakat, kredit mikro adalah alat utama dalam upaya kita membangun dunia yang bebas dari kemiskinan. Demikian katanya.

The story is so beautiful and told by Muhammad Yunus himself. It will be the best day in my life. Pada tahun 2015, katanya, Grameen Bank, Bank for the Poor, yang sahamnya mayoritas dimiliki oleh orang-orang miskin akan berubah menjadi Grameen Bank, bank for the formerly poor, bank milik orang-orang yang dulunya miskin. Saat itu mereka tidak lagi miskin dan telah bangkit menjadi orang-orang yang hidup layak dan sejahtera. Saya mempercayainya. **

Biografi singkat

Muhammad Yunus lahir pada tahun 1940 di Chittagong, adalah seorang bankir dari Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam dari bank umum. Yunus mengimplementasikan gagasan ini dengan mendirikan Grameen Bank. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XII 2001.

Ia terpilih sebagai penerima Penghargaan Perdamaian Nobel (bersama dengan Grameen Bank) pada tahun 2006.

Yunus belajar di Chittagong Collegiate School dan Chittagong College. Kemudian ia melanjutkan ke jenjang Ph.D. di bidang ekonomi di Universitas Vanderbilt pada tahun 1969. Selesai kuliah, ia bekerja di Universitas Chittagong sebagai dosen di bidang ekonomi. Saat Bangladesh mengalami bencana kelaparan pada tahun 1974, Yunus terjun langsung memerangi kemiskinan dengan cara memberikan pinjaman skala kecil kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Ia yakin bahwa pinjaman yang sangat kecil tersebut dapat membuat perubahan yang besar terhadap kemampuan kaum miskin untuk bertahan hidup.

Pada tahun 1976, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Hinggal saat ini, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari 3 miliar dolar ke sekitar 2,4 juta peminjam. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok ini mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

Keberhasilan model Grameen ini telah menginspirasikan model serupa dikembangkan di dunia berkembang lainnya, dan bahkan termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Impiannya disampaikan lewat kata-kata yang sangat terkenal yaitu, “Suatu hari cucu-cucu kita akan harus pergi ke museum untuk melihat seperti apa itu kemiskinan,” seperti dikutip di "The Independent", pada 5 Mai 1996 silam.(wikipedia)

note : tulisan ini pernah dimuat di kolom fokus Harian Aceh, 16 Juni 2008 Selengkapnya...

Rabu, 03 Februari 2010

Pahlawan Is Hero




oleh: Hendra Syahputra

LIMA TAHUN YANG LALU saya ketemu seorang wanita warga negara asing, namanya Sarah Henderson. ia seorang janda berusia 60 tahun, pensiunan, tinggal di New York Amerika Serikat. Setelah bencana tsunami menghempas Aceh, dia mencairkan tabungan pensiunnya dan pergi ke negeri Serambi Mekkah ini. Dengan uangnya sendiri ia membangun kembali rumah-rumah warga Lamno, di Aceh Jaya. Selama setahun ini, Sarah pulang balik New York – Banda Aceh, dengan biaya sendiri untuk sebuah tugas mulia.

Ia menolong orang-orang yang tidak pernah dikenal sebelumnya, berbeda suku dan agama. Atas perbuatan mulianya, hampir pasti tak ada yang akan memberinya tanda jasa. Kini sudah lebih dari 50 rumah beserta kelengkapannya selesai dibangun oleh Sarah Henderson. Pahlawankah dia?

Di Aceh, saya ketemu lagi dengan sosok lain, ia Baharuddin, 49 tahun, sehari-hari dikenal sebagai Keuchik Desa Lamteungoh, Aceh Besar. Tsunami menggulung istri dan lima orang anaknya ke alam barzah. Baharuddin, adalah salah satu dari 105 duda, yang kehilangan seluruh anggota keluarganya. Setelah keadaan tenang Baharuddin memimpin warga yang selamat untuk kembali ke desa.

Ia menemukan jenazah putrinya dan turut menguburkannya beramai-ramai dengan warga desa lainnya. Setelah kering air mata duka, Baharuddin mengajak tetangga untuk mendirikan kamp pengungsian dan membangun kembali desanya. Semangat Baharuddin memperoleh sambutan dari warga.

Saat ini desa Lamtutui merupakan salah satu desa yang perkembangannya paling pesat. Ratusan rumah sudah terbangun, tanggul air laut sudah berdiri, kehidupan nelayan sudah normal kembali di bawah kepemimpinan Baharuddin. Pantaskah Keuchik Baharuddin disebut pahlawan?Jenderal Endriartono Sutarto, Desember 2004 terlibat perdebatan sengit dengan Wakil Rakyat di Senayan. Para anggota DPR mempersoalkan masuknya pasukan asing ke Aceh untuk menolong korban Tsunami, terutama yang masih hidup yang memerlukan bantuan makanan, obat-obatan, dan evakuasi.

Ketika tsunami terjadi, Sutarto memang segera mengontak koleganya, para Panglima tentara negara-negara sahabat: Singapura, Australia, Malaysia, Inggris, hingga Amerika Serikat. Dengan Jenderal Peter Cosgroove dari Australia, dan Laksamana Fargo dari Amerika Serikat, dan Panglima-panglima negara lainnya, Sutarto menjalin hotline 24 jam. Menyikapi tindakan ini, sejumlah wakil rakyat yang “paranoid” dengan nasionalisme, mempersalahkan Jenderal Sutarto. Sang Jenderal menjawab, ”lebih baik saya disebut tidak nasionalis, dari pada membiarkan korban mati tidak tertolong”. Maka bantuan dari tentara negara-negara sahabat pun berdatangan.

Tak kurang dari 18 negara mengirimkan tentaranya. Inilah operasi militer bukan tempur terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah militer modern. Operasi ini melibatkan 16.000 prajurit, 9 kapal induk, 1 rumah sakit terapung, 117 tim medis, 14 kapal perang, 31 pesawat udara, dan 82 helikopter. Dengan itu korban jiwa lebih besar dapat dihindari. Kita berfikir sejenak dan bertanya, apakah Jenderal Sutarto dan 16.000 tentara lainnya layak disebut pahlawan?

Krisis selalu saja melahirkan keputusan penting, langkah-langkah berani, tindakan strategis, dan tokoh-tokoh pelopor. Musibah gempa bumi dan tsunami, Desember 2004 adalah krisis besar yang tak ada duanya. Maka muncullah cerita dan tokoh di atas. Ada ratusan, bahkan ribuan individu yang melakukan tindakan kebajikan, kepeloporan, dengan gagah berani menempuh tantangan.

Prajurit TNI dan Anggota POLRI yang membuka daerah terisolasi, relawan PMI yang mengevakuasi puluhan ribu jenazah, hingga wartawan yang menembus wilayah sulit untuk mengabarkan kebutuhan warga yang tak tersentuh bantuan. Ribuan relawan kemanusiaan dari berbagai organisasi pernah membanjiri Aceh dan Nias. Hingga kini tak kurang dari 300 organisasi masih berada di wilayah bencana, bahu membahu membangun kembali pemukiman, sekolah, rumah sakit, dan kehidupan masyarakat. Apakah mereka pahlawan?

Di lain pihak, kita juga menyaksikan ribuan penggiat LSM yang memilih menjadi “pengawas” hiruk pikuk kesibukan membangun kembali Aceh dan Nias. Ada pula yang terus rajin mencari kesempatan untuk menggerakkan emosi masyarakat, memobilisasi demonstrasi demi demonstrasi. Tokoh-tokoh kelompok ini tak kalah populer dengan para pekerja kemanusiaan yang berpeluh menolong korban, mengerahkan segala daya dan upaya. Bahkan sering kali, para “pengawas” jauh lebih populer karena keterampilannya memilih isu-isu yang populis dan kepandaiannya merangkai kalimat-kalimat yang bombastis.

Pahlawankah mereka? Kita tentu mengucapkan terima kasih dan penghargaan tulus atas semua inisiatif, peran, tindakan berani dan kepeloporan. Sejauh mana tindakan itu menjadikan seseorang pahlawan atau oportunis yang mencari panggung eksistensi, jawabnya tergantung dua hal. Pertama, apakah yang dilakukannya benar-benar memberi manfaat bagi orang banyak.

Awal November 2007, saya bertemu kembali dengan seorang anak muda Jakarta, berusia 28 tahun, namanya Ratnasari Dewi. Dia lebih sering dipanggil Deu Greenjo. Anak muda yang mencintai dunia social, membangun peradaban, dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Bidang Komunikasi ádalah salah satu bagian yang dia coba untuk kuatkan di Aceh. Tak ada yang setuju ketika pertama kali ia memutuskan untuk menapakan kakinya di Aceh, untuk bekerja dan menguatkan sosialitanya sebagai manusia sosial

Bermodalkan kemampuan, dan segudang pengalaman yang sudah pernah digelutinya diberbagai Negara, seperti Singapura, Inggris dan Sweden, tidak terlalu rumit bagi perempuan yang akrab dipanggil Deu itu, untuk bekerjasama dengan komunitas yang lain, seperti di Aceh. Apakah ia Pahlawan?.

Saya menarik sebuah kesimpulan, semua mereka memang pahlawan di bidangnya. Sosok yang terakhir, menurut saya juga seorang pahlawan. Di usia yang muda Deu memutuskan untuk meninggalkan sejenak hiruk- pikuk Jakarta, membantu program lembaga International, untuk membangun Aceh. Bersama lelaki tegar dan mandiri, Saiful Azhari yang sejak 5 Juli 2008 yang lalu, resmi menjadi suaminya, kini mereka membuat sebuah usaha membuat T-shirt, yang setiap edisinya selalu mengankat budaya Aceh dan seluk –beluk etnis tersebut, dengan gaya yang mecing dan bernuansa seni tinggi.

Kembali saya mencatatnya, mereka sebagai pahlawan kecil, mengenalkan tradisi keseharian Aceh dalam setiap motif dan tema baju kaos tersebut. Dibantu dengan promosi lewat web bertajuk www.jualankaos.com, mereka mempromosikan web kaos cantik itu. Sebagian besar pecinta baju kaos ada di komunitas gaul anak muda Aceh, seperti Warong kopi Aceh, rumah makan Aceh, dan tempat kongkow para pekerka Asing yang ada di Aceh. Kini produk nya juga sudah mulai merambah ke Jakarta, Bandung, Makassar, Arkansas USA

Berbagai macam arti dan didipinisi pahlawan. Saya menyebutnya Pahlawan is Hero. Kini, ia kembali menjadi salah seorang Pahlawan di catatan saya, dengan dedikasi yang tinggi, ia benar-benar ingin menjadi pahlawan development study, membangun masyarakat Aceh kembali. Wanita yang menjadi salah seorang penerima beasiswa sebuah lembaga beasiswa Amerika itu bersiap melanjutkan pendidikan Master di Bidang Development Study and Publicr service, di negeri Paman Sam itu. Tepatnya Clinton School Arkansas

Ada lagi, anak muda yang lain, Kusnandar namanya. punya bakat yang kuat tentang IT, membuat ia banyak membantu siapa saja untuk membangun Web, sebagai sarana penunjang profesi dan keseriusan seseorang terhadap sesuatu bidang., ia turut membantu saya mewujudkan keinginan membangun Web tempat aktualisasi diri bagi saya, termasuk bagi banyak profesor yang saya kenal.

Lebih dari itu, prestasi dan pengalaman bagi saya adalah jalan. Apakah motif yang mendasari benar-benar diabdikan bagi kepentingan masyarakat, dan bersih dari bias kepentingan pribadi. Maka itu, waktulah yang akan menguji. Satu hal yang pasti, pekerjaan besar membangun kembali Aceh dan Nias memerlukan tindakan-tindakan nyata. Tindakan yang benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat.

Tentang kepahlawanan, biarlah sejarah yang akan mengujinya

Catatan : Saya dedikasikan bagi semua yang sudah berkarya untuk Aceh. Untuk Hero yang baru saya kenal, Ratnasari Dewi dan Saiful Azhari, juga Kusnandar. Terimkasih untuk pengalaman hidup yang luar biasa bagi saya. Teristimewa untuk Istriku tercinta, Sulamsih Sri Budini, yang juga menjadi pahlawan dalam hatiku. Semoga studynya cepat selesai ya istriku Sayang Selengkapnya...

Mental Miskin atau Kemiskinan Strukturalkah



Oleh : Hendra Syahputra

SETAHUN YANG LALU saya menonton sebuah sinema Indonesia, di Laptop. Saya menonton sebuah film yang menurut saya boleh menjadi salah satu referensi untuk guru dalam mendidik, untuk orang kaya agar tak sombong, untuk kita semua agar lebih peduli lingkungan : Laskar Pelangi

Bagi yang sudah menonton, lebih kurang pasti tahu ceritanya. Bagi yang belum akan saya share, penggalan nya. Dalam film yang diangkat dari novel Andrea Hirata ini , ada kisah seorang anak nelayan miskin yang memiliki tekad untuk sekolah. Awalnya ia sekolah karena terpaksa, disuruh ayahnya karena sang ayah tidak ingin anaknya juga jadi nelayan miskin seperti dirinya.

Lintang akhirnya sekolah dan menunjukan kecerdasan yang luar biasa, meski akhirnya ia pun menyerah kepada kehidupan yang memaksa dia untuk tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena sang ayah meninggal. Seperti tak bisa menolak, ia pun tak bias menghindar ketika isyu kemiskinan menyergapnya, dan membuat ia harus banting tulang, menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah, guna menghidupi adik-adiknya, yang masih sangat kecil, ketika nasip memaksa mereka harus menjadi yatim piatu. Kisah ini saya urai karena diangkat dari kisah nyata

Penggalan kisah ini, melambungkan fikiran saya pada sebuah artikel di sebuah surat kabar berjudul MISKIN. Saya jadi teringat tentang Teori Kemiskinan, yang pernah saya pelajari, ketika sekolah dulu dan mecoba mengkaitkanya pada sebuah judul yang kadang saya tak mau terjebak di dalamnya, dan kini menjadi sebuah teori kemiskinan structural, pada teori kemiskinan struktural atau kemiskinan yang terstruktur

Secara sederhana, kemiskinan itu bisa dikategorikan atas 2 (dua) kelompok besar, yaitu kemiskinan temporer (temporary poverty) serta kemiskinan struktural (structural poverty). Jika dirincikan lagi, kemiskinan temporer ini adalah kemiskinan yang sifatnya sementara di mana suatu kali dia miskin, suatu kali bisa melewati batas kemiskinan ke tahap sejahtera (walaupun mungkin tahap paling awal di kelompok sejahtera). Intinya, kelompok yang masuk ke dalam kategori kemiskinan temporer ini masih memiliki peluang untuk masuk ke wilayah sejahtera walaupun tingkat sejahtera yang paling rendah.

Lalu bagaimana dengan teori kemiskinan kemiskinan structural, yang sepintas “horor” jika menyebutnya berkali-kali, meski sebenarnya ini yang harus menjadi pehatian khusus

Secara harfiah, kemiskinan struktural ini adalah suatu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan, bahkan juga anak-anaknya. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, dan bisa dikatakan mengalami “kemiskinan abadi“.

Bayangkan, jika seorang pengemis tidak memiliki biaya untuk memberikan gizi yang cukup,pada anak-anak mereka, yang lebih dari satu jumlahnya. Masalahnya tidak akan sesederhana ini, dampaknya selain terganggunya kesehatan mereka, juga akan menurunkan tingkat kecerdasan berfikir dan emosinya. Lalu ketika mereka besar, karena tak bisa merasakan pendidikan yang normal di bangku sekolah, bisa jadi mereka akan terus berada dari lintasan kebodohan dan kemiskinan, dan bisa jadi akan stay dan terjebak ke dalam “kemiskinan abadi”, bahkan sampai ke anak-anaknya.

Sekedar diketahui, secara teoritis, paling tidak ada 2 (dua) ha yang membuat anak tidak cerda, yaitu (1) gizi yang baik semasa balita, serta (2) pendidikan yang memadai. Dengan dua hal tersebut, kemiskinan struktural bisa diatasi perlahan-lahan. Dengan demikian, program nasional atau gerakan masyarakat pemberian gizi tambahan untuk balita miskin juga salah satu upaya penting dalam menanggulangi kemiskinan struktural ini. Demikian juga dengan penyediaan sekolah yang gratis untuk masyarakat miskin. Program anak asuh yang menjadi inisiatif masyarakat beberapa tahun yang lalu juga merupakan upaya untuk mengatasi kemiskinan struktural.

Mental Miskin

Yang terpenting sebenarnya adalah, bagaimana mengajari mereka untuk tidak memiliki mental miskin, Kembali kepada contoh Lintang dalam Laskar Pelangi. Sang ayah boleh hanya seorang nelayan miskin, tetapi dia tidak terjebak dalam mental miskin. Dia justru mengirim Lintang ke sekolah supaya tidak terjebak dalam kemiskinan struktural, dan sang anak, Lintang juga tidak memiliki mental miskin, justru memiliki mental baja dan semangat tinggi untuk maju, walaupun akhirnya ia tak bias berkompromi dengan kehidupan yang sudah menjadi kehendak yang maha kuasa untuk mengaturnya

Sepintas, orang yang hidupnya hanya dengan mengandalkan belas kasihan orang lain, itulah yang disebut memiliki “mental miskin”, inilah sesungguhnya kemiskinan struktural sejati

Pelajaran Hidup

Banyak kisah yang bisa kita jadikan pelajaran, betapa kemiskinan itu benar-benar dekat dengan kekufuran. Coba lihat saja, kisah tragedi zakat di Pasuruan beberapa waktu yang lalu sebelum Idul Fitri 1429 H. Kisah yang sekaligus pelajaran bagi semua orang di negeri ini, membuat kita miris, geram, dan sedih. Kemiskinan strukturalkah?

Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.

Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan diterima sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap kondisi itu merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai kehendak Tuhan.

Memang benar, siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh, terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang memaksa. Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya.

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa kita petakan dalam dua paradigma sederhana; normatif-teologis dan struktural-sosiologis. Paradigma pertama berangkat dari asumsi bahwa miskin-kayanya atau susah-senangnya seseorang sudah menjadi suratan takdir Yang Mahakuasa. Kemiskinan yang melanda masyarakat dianggap sebagai takdir Ilahi dan karenanya banyak orang yang berpangku tangan; hanya bergantung pada nasib. Mereka tidak mau berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika menemui kegagalan, mereka juga mudah menyerah. Sedang paradigma kedua, yaitu struktural-sosiologis, berasumsi bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh sistem atau struktur politik yang cenderung berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan perekonomian yang diterapkan pemerintah hanya berorientasi para pemilik modal sehingga yang kaya menjadi semakin leluasa mengendalikan pasar, yang miskin semakin terhimpit dan tertindas.

Jika kedua paradigma itu digabungkan, maka masyarakat yang miskin itu tidak hanya karena “nasib”, tetapi juga ada faktor luar, yaitu kebijakan ekonomi yang tidak adil. Jika ada orang yang merasa telah berusaha maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidup, namun tetap dalam kondisi “memprihatinkan”, ini tidak berarti semata-mata karena suratan takdir, tetapi ada yang tidak beres dalam sistem dan kebijakan perekonomian. Apakah itu karena monopoli, atau praktik-praktik korupsi dan kolusi. Berbagai penyelewengan dan kejahatan pun berlangsung secara sistematis sehingga tidak tampak pelaku sebenarnya. Ini adalah konspirasi tingkat tinggi: satu sama lain saling menikmati, saling menutupi, dan saling menyelamatkan.

Alquran secara implisit memberikan petunjuk mengenai “jihad sosial” memerangi kemiskinan stuktural, paling tidak kita bisa berpijak pada dua langkah, yaitu “distribusi yang adil” dan “pemberantasan cara-cara batil”. Distribusi yang adil merupakan pengejewantahan dari konsep “amar makruf” yang secara operasional dalam bentuk “santunan sosial” sebagai bahasa lain dari konsep zakat, infaq, dan sedekah.

Sedangkan “pemberantasan cara-cara batil” merupakan pengejewantahan konsep “nahi munkar”. Kini kita tidak boleh lengah lagi terhadap berbagai penyelewengan di instansi-instansi publik yang berdampak sosial yang luas dan besar. Praktik-praktik “kotor” yang dilakukan secara terstruktur harus diberantas melalui penegakkan hukum yang tegas dan pengawasan yang ketat. Jangan sampai lembaga-lembaga penegak hukum di negeri kita hanya dijadikan “panggung sandiwara” untuk membebaskan atau membuktikan tidak bersalah pelaku kejahatan yang merugikan negara dan menyengsarakan masyarakat. Kejahatan struktural itu tiada lain adalah eksploitasi kekayaan alam oleh proyek-proyek dan pemodal besar. Mereka “bermain mata” dengan negara dan mengeruk kekayaan alam dengan leluasa. Sementara penduduk setempat tetap miskin, mereka menjadi korban kerusakan lingkungan dan limbah

Umumnya kemiskinan struktural dimanfaatkan untuk kepentingan politik, yaitu demi melanggengkan kekuasaan. Sementara kelompok manusia yang miskin tidak berdaya melawan otoritas penguasa yang sangat dominan. Kondisi seperti inilah yang oleh Paulo Freire disebut “budaya bisu” (submerged of culture silent). Mereka miskin, bodoh, dan terbelakang karena permainan penguasa dzalim, sementara untuk melawannya tidak memiliki daya sama sekali. Pada masa Orde Baru, masyarakat Indonesia yang miskin, bodoh dan terbelakang, ternyata sengaja didesain oleh rezim penguasa. Tujuannya agar masyarakat lemah dan tidak berdaya melawan kekuasaan. Kondisi demikian kemudian menjadi komoditas politik sewaktu digelar pemilihan umum (pemilu).

Di zaman sekarang pun, para pejabat enggan memikirkan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah sibuk memperkaya diri. Saat pemilu datang, mereka sibuk menebar janji pemberantasan pengangguran, pengobatan murah, sekolah gratis, dan lain-lain. Tetapi setelah tiga tahun ditunggu-tunggu ternyata janji tinggal janji, tak ada bukti.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.

Sudah menjadi rahasia umum, masalah kompetensi para pengambil kebijakan di jajaran pemerintahan diragukan. Banyak posisi struktural yang strategis diduduki oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidangnya.

Kondisi negeri ini, masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip fitrah manusia. Fitrah manusia adalah hidup layak, berpengetahuan, dan bukan miskin atau bodoh.

Untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kubangan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis. Kebijakan strategis tersebut membutuhkan suatu jalur yang dipandang paling efektif. Dalam konteks inilah penulis berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalur paling efektif untuk mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia.

Sejatinya seluruh persoalan yang menimpa masyarakat Indonesia bertumpu pada faktor manusianya. Faktor kesadaran masyarakat Indonesia masih menjadi kendala utama untuk melakukan berbagai agenda perubahan. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki orientasi sebagai “penyadaran” (consciousness), yaitu untuk mengubah pola pikir masyarakat yang tadinya naif dan fatalistik agar menjadi kritis.

Meskipun persoalan kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan fungsi struktur yang tidak berjalan, akan tetapi itu semua mengisyaratkan pada faktor manusianya. Struktur jelas buatan manusia dan dijalankan oleh manusia pula. Jadi, persoalan kemiskinan yang bertumpu pada struktur dan fungsi sistem jelas mengindikasikan problem kesadaran manusianya. Dengan demikian, agenda terbesar pendidikan di negeri tercinta ini, adalah adalah bagaimana merombak kesadaran masyarakat Indonesia agar menjadi kritis

Lalu, apakah yang bisa kita lakukan dalam mengatasi kemiskinan struktural ?. Setiap kita pasti memiliki peran masing-masing di dalam masyarakat. Ada sebagai pemimpin, ada sebagai tentara, ada sebagai polisi, ada sebagai pebisnis, ada sebagai pemuka agama, ada sebagai politisi,

Kita bisa memainkan peran kita masing-masing dalam mengatasi kemiskinan ini. Memang, tidak mungkin satu orang sanggup mengubah dunia. Tetapi jika setiap orang memainkan perannya dengan baik, Insya Allah tujuan memberantas kemiskinan menjadi tercapai. Memang, kita tidak bisa menutup mata, ada juga orang yang memcari rezeki dengan mengekploitasi kemiskinan. Tetapi biarlah, itu tanggung jawab dia kepada Tuhan nanti (itu pun kalau dia percaya).

Mari kita menyalakan “lentera hati”, di jiwa kita, jika satu orang saja peduli masalah ini, diikuti satu orang lainya setiap hari, paling tidak kita mendapatkan pencerahan setiap harinya dari sinar tersebut. Semoga. Allahuma Amdi. Selengkapnya...

Template by - Fedri Hidayat - 2008