Rabu, 03 Februari 2010

Mental Miskin atau Kemiskinan Strukturalkah



Oleh : Hendra Syahputra

SETAHUN YANG LALU saya menonton sebuah sinema Indonesia, di Laptop. Saya menonton sebuah film yang menurut saya boleh menjadi salah satu referensi untuk guru dalam mendidik, untuk orang kaya agar tak sombong, untuk kita semua agar lebih peduli lingkungan : Laskar Pelangi

Bagi yang sudah menonton, lebih kurang pasti tahu ceritanya. Bagi yang belum akan saya share, penggalan nya. Dalam film yang diangkat dari novel Andrea Hirata ini , ada kisah seorang anak nelayan miskin yang memiliki tekad untuk sekolah. Awalnya ia sekolah karena terpaksa, disuruh ayahnya karena sang ayah tidak ingin anaknya juga jadi nelayan miskin seperti dirinya.

Lintang akhirnya sekolah dan menunjukan kecerdasan yang luar biasa, meski akhirnya ia pun menyerah kepada kehidupan yang memaksa dia untuk tidak bisa melanjutkan sekolahnya karena sang ayah meninggal. Seperti tak bisa menolak, ia pun tak bias menghindar ketika isyu kemiskinan menyergapnya, dan membuat ia harus banting tulang, menggantikan posisi ayahnya sebagai pencari nafkah, guna menghidupi adik-adiknya, yang masih sangat kecil, ketika nasip memaksa mereka harus menjadi yatim piatu. Kisah ini saya urai karena diangkat dari kisah nyata

Penggalan kisah ini, melambungkan fikiran saya pada sebuah artikel di sebuah surat kabar berjudul MISKIN. Saya jadi teringat tentang Teori Kemiskinan, yang pernah saya pelajari, ketika sekolah dulu dan mecoba mengkaitkanya pada sebuah judul yang kadang saya tak mau terjebak di dalamnya, dan kini menjadi sebuah teori kemiskinan structural, pada teori kemiskinan struktural atau kemiskinan yang terstruktur

Secara sederhana, kemiskinan itu bisa dikategorikan atas 2 (dua) kelompok besar, yaitu kemiskinan temporer (temporary poverty) serta kemiskinan struktural (structural poverty). Jika dirincikan lagi, kemiskinan temporer ini adalah kemiskinan yang sifatnya sementara di mana suatu kali dia miskin, suatu kali bisa melewati batas kemiskinan ke tahap sejahtera (walaupun mungkin tahap paling awal di kelompok sejahtera). Intinya, kelompok yang masuk ke dalam kategori kemiskinan temporer ini masih memiliki peluang untuk masuk ke wilayah sejahtera walaupun tingkat sejahtera yang paling rendah.

Lalu bagaimana dengan teori kemiskinan kemiskinan structural, yang sepintas “horor” jika menyebutnya berkali-kali, meski sebenarnya ini yang harus menjadi pehatian khusus

Secara harfiah, kemiskinan struktural ini adalah suatu kondisi di mana sekelompok orang berada di dalam wilayah kemiskinan, dan tidak ada peluang bagi mereka untuk keluar dari kemiskinan, bahkan juga anak-anaknya. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan, dan bisa dikatakan mengalami “kemiskinan abadi“.

Bayangkan, jika seorang pengemis tidak memiliki biaya untuk memberikan gizi yang cukup,pada anak-anak mereka, yang lebih dari satu jumlahnya. Masalahnya tidak akan sesederhana ini, dampaknya selain terganggunya kesehatan mereka, juga akan menurunkan tingkat kecerdasan berfikir dan emosinya. Lalu ketika mereka besar, karena tak bisa merasakan pendidikan yang normal di bangku sekolah, bisa jadi mereka akan terus berada dari lintasan kebodohan dan kemiskinan, dan bisa jadi akan stay dan terjebak ke dalam “kemiskinan abadi”, bahkan sampai ke anak-anaknya.

Sekedar diketahui, secara teoritis, paling tidak ada 2 (dua) ha yang membuat anak tidak cerda, yaitu (1) gizi yang baik semasa balita, serta (2) pendidikan yang memadai. Dengan dua hal tersebut, kemiskinan struktural bisa diatasi perlahan-lahan. Dengan demikian, program nasional atau gerakan masyarakat pemberian gizi tambahan untuk balita miskin juga salah satu upaya penting dalam menanggulangi kemiskinan struktural ini. Demikian juga dengan penyediaan sekolah yang gratis untuk masyarakat miskin. Program anak asuh yang menjadi inisiatif masyarakat beberapa tahun yang lalu juga merupakan upaya untuk mengatasi kemiskinan struktural.

Mental Miskin

Yang terpenting sebenarnya adalah, bagaimana mengajari mereka untuk tidak memiliki mental miskin, Kembali kepada contoh Lintang dalam Laskar Pelangi. Sang ayah boleh hanya seorang nelayan miskin, tetapi dia tidak terjebak dalam mental miskin. Dia justru mengirim Lintang ke sekolah supaya tidak terjebak dalam kemiskinan struktural, dan sang anak, Lintang juga tidak memiliki mental miskin, justru memiliki mental baja dan semangat tinggi untuk maju, walaupun akhirnya ia tak bias berkompromi dengan kehidupan yang sudah menjadi kehendak yang maha kuasa untuk mengaturnya

Sepintas, orang yang hidupnya hanya dengan mengandalkan belas kasihan orang lain, itulah yang disebut memiliki “mental miskin”, inilah sesungguhnya kemiskinan struktural sejati

Pelajaran Hidup

Banyak kisah yang bisa kita jadikan pelajaran, betapa kemiskinan itu benar-benar dekat dengan kekufuran. Coba lihat saja, kisah tragedi zakat di Pasuruan beberapa waktu yang lalu sebelum Idul Fitri 1429 H. Kisah yang sekaligus pelajaran bagi semua orang di negeri ini, membuat kita miris, geram, dan sedih. Kemiskinan strukturalkah?

Dalam konteks kesadaran, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan biasanya merujuk pada kesadaran fatalistik dan menyerah pada “takdir”. Suatu kondisi diyakini sebagai pemberian Tuhan yang harus diterima, dan perubahan atas nasib yang dialaminya hanya mungkin dilakukan oleh Tuhan. Tak ada usaha manusia yang bisa mengubah nasib seseorang, jika Tuhan tak berkehendak. Kesadaran fatalistik bersifat pasif dan pasrah serta mengabaikan kerja keras.

Kesadaran ini tampaknya dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia, sehingga kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan diterima sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Bahkan, penerimaan terhadap kondisi itu merupakan bagian dari ketaatan beragama dan diyakini sebagai kehendak Tuhan.

Memang benar, siapa pun tak ada yang menghendaki dirinya bodoh, terbelakang dan miskin. Setiap manusia berharap bisa hidup berkecukupan dan tak terbelakang. Namun, dalam realitas harapan tersebut terkubur dan kandas oleh kondisi yang memaksa. Secara sosiologis, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan ditentukan oleh tiga faktor; yakni kesadaran manusia, struktur yang menindas, dan fungsi struktur yang tidak berjalan semestinya.

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, bisa kita petakan dalam dua paradigma sederhana; normatif-teologis dan struktural-sosiologis. Paradigma pertama berangkat dari asumsi bahwa miskin-kayanya atau susah-senangnya seseorang sudah menjadi suratan takdir Yang Mahakuasa. Kemiskinan yang melanda masyarakat dianggap sebagai takdir Ilahi dan karenanya banyak orang yang berpangku tangan; hanya bergantung pada nasib. Mereka tidak mau berusaha mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jika menemui kegagalan, mereka juga mudah menyerah. Sedang paradigma kedua, yaitu struktural-sosiologis, berasumsi bahwa kemiskinan yang menimpa masyarakat disebabkan oleh sistem atau struktur politik yang cenderung berpihak kepada kelompok-kelompok tertentu. Kebijakan perekonomian yang diterapkan pemerintah hanya berorientasi para pemilik modal sehingga yang kaya menjadi semakin leluasa mengendalikan pasar, yang miskin semakin terhimpit dan tertindas.

Jika kedua paradigma itu digabungkan, maka masyarakat yang miskin itu tidak hanya karena “nasib”, tetapi juga ada faktor luar, yaitu kebijakan ekonomi yang tidak adil. Jika ada orang yang merasa telah berusaha maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidup, namun tetap dalam kondisi “memprihatinkan”, ini tidak berarti semata-mata karena suratan takdir, tetapi ada yang tidak beres dalam sistem dan kebijakan perekonomian. Apakah itu karena monopoli, atau praktik-praktik korupsi dan kolusi. Berbagai penyelewengan dan kejahatan pun berlangsung secara sistematis sehingga tidak tampak pelaku sebenarnya. Ini adalah konspirasi tingkat tinggi: satu sama lain saling menikmati, saling menutupi, dan saling menyelamatkan.

Alquran secara implisit memberikan petunjuk mengenai “jihad sosial” memerangi kemiskinan stuktural, paling tidak kita bisa berpijak pada dua langkah, yaitu “distribusi yang adil” dan “pemberantasan cara-cara batil”. Distribusi yang adil merupakan pengejewantahan dari konsep “amar makruf” yang secara operasional dalam bentuk “santunan sosial” sebagai bahasa lain dari konsep zakat, infaq, dan sedekah.

Sedangkan “pemberantasan cara-cara batil” merupakan pengejewantahan konsep “nahi munkar”. Kini kita tidak boleh lengah lagi terhadap berbagai penyelewengan di instansi-instansi publik yang berdampak sosial yang luas dan besar. Praktik-praktik “kotor” yang dilakukan secara terstruktur harus diberantas melalui penegakkan hukum yang tegas dan pengawasan yang ketat. Jangan sampai lembaga-lembaga penegak hukum di negeri kita hanya dijadikan “panggung sandiwara” untuk membebaskan atau membuktikan tidak bersalah pelaku kejahatan yang merugikan negara dan menyengsarakan masyarakat. Kejahatan struktural itu tiada lain adalah eksploitasi kekayaan alam oleh proyek-proyek dan pemodal besar. Mereka “bermain mata” dengan negara dan mengeruk kekayaan alam dengan leluasa. Sementara penduduk setempat tetap miskin, mereka menjadi korban kerusakan lingkungan dan limbah

Umumnya kemiskinan struktural dimanfaatkan untuk kepentingan politik, yaitu demi melanggengkan kekuasaan. Sementara kelompok manusia yang miskin tidak berdaya melawan otoritas penguasa yang sangat dominan. Kondisi seperti inilah yang oleh Paulo Freire disebut “budaya bisu” (submerged of culture silent). Mereka miskin, bodoh, dan terbelakang karena permainan penguasa dzalim, sementara untuk melawannya tidak memiliki daya sama sekali. Pada masa Orde Baru, masyarakat Indonesia yang miskin, bodoh dan terbelakang, ternyata sengaja didesain oleh rezim penguasa. Tujuannya agar masyarakat lemah dan tidak berdaya melawan kekuasaan. Kondisi demikian kemudian menjadi komoditas politik sewaktu digelar pemilihan umum (pemilu).

Di zaman sekarang pun, para pejabat enggan memikirkan kesejahteraan masyarakat, tetapi malah sibuk memperkaya diri. Saat pemilu datang, mereka sibuk menebar janji pemberantasan pengangguran, pengobatan murah, sekolah gratis, dan lain-lain. Tetapi setelah tiga tahun ditunggu-tunggu ternyata janji tinggal janji, tak ada bukti.

Persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan juga disebabkan karena tidak berfungsinya sistem yang ada. Sebab orang-orang yang berada dalam sistem tidak memiliki kemampuan sesuai dengan posisinya. Akibatnya sistem berjalan tersendat-sendat, bahkan kacau. Kesalahan menempatkan orang tidak sesuai dengan kompetensinya (one man in the wrong place) bisa mengakibatkan kondisi bangsa ini menjadi fatal.

Sudah menjadi rahasia umum, masalah kompetensi para pengambil kebijakan di jajaran pemerintahan diragukan. Banyak posisi struktural yang strategis diduduki oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidangnya.

Kondisi negeri ini, masih berkubang dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, jelas berseberangan dengan prinsip-prinsip fitrah manusia. Fitrah manusia adalah hidup layak, berpengetahuan, dan bukan miskin atau bodoh.

Untuk mengentaskan masyarakat Indonesia dari kubangan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis. Kebijakan strategis tersebut membutuhkan suatu jalur yang dipandang paling efektif. Dalam konteks inilah penulis berpendapat bahwa pendidikan merupakan satu-satunya jalur paling efektif untuk mengentaskan seluruh problem sosial di Indonesia.

Sejatinya seluruh persoalan yang menimpa masyarakat Indonesia bertumpu pada faktor manusianya. Faktor kesadaran masyarakat Indonesia masih menjadi kendala utama untuk melakukan berbagai agenda perubahan. Oleh karena itu, pendidikan harus memiliki orientasi sebagai “penyadaran” (consciousness), yaitu untuk mengubah pola pikir masyarakat yang tadinya naif dan fatalistik agar menjadi kritis.

Meskipun persoalan kemiskinan bisa saja disebabkan karena struktur dan fungsi struktur yang tidak berjalan, akan tetapi itu semua mengisyaratkan pada faktor manusianya. Struktur jelas buatan manusia dan dijalankan oleh manusia pula. Jadi, persoalan kemiskinan yang bertumpu pada struktur dan fungsi sistem jelas mengindikasikan problem kesadaran manusianya. Dengan demikian, agenda terbesar pendidikan di negeri tercinta ini, adalah adalah bagaimana merombak kesadaran masyarakat Indonesia agar menjadi kritis

Lalu, apakah yang bisa kita lakukan dalam mengatasi kemiskinan struktural ?. Setiap kita pasti memiliki peran masing-masing di dalam masyarakat. Ada sebagai pemimpin, ada sebagai tentara, ada sebagai polisi, ada sebagai pebisnis, ada sebagai pemuka agama, ada sebagai politisi,

Kita bisa memainkan peran kita masing-masing dalam mengatasi kemiskinan ini. Memang, tidak mungkin satu orang sanggup mengubah dunia. Tetapi jika setiap orang memainkan perannya dengan baik, Insya Allah tujuan memberantas kemiskinan menjadi tercapai. Memang, kita tidak bisa menutup mata, ada juga orang yang memcari rezeki dengan mengekploitasi kemiskinan. Tetapi biarlah, itu tanggung jawab dia kepada Tuhan nanti (itu pun kalau dia percaya).

Mari kita menyalakan “lentera hati”, di jiwa kita, jika satu orang saja peduli masalah ini, diikuti satu orang lainya setiap hari, paling tidak kita mendapatkan pencerahan setiap harinya dari sinar tersebut. Semoga. Allahuma Amdi.

0 komentar:

Template by - Fedri Hidayat - 2008