Senin, 01 Februari 2010

Pemilu dan idelisme anak bangsa

Oleh : Hendra Syahputra

Padamu negeri/Kami berjanji/Bagimu negeri/Jiwa raga kami…

Begitu penggalan salah satu lagu kebangsaan, yang wajib saya dan teman-teman nyanyikan setiap hari Senin, ketika upacara bendera di sekolahan pada masa-masa SD, SMP dan SMU dulu. Lagu itu menjadi begitu heroik, ketika semua orang dengan gegap gempita menyanyikannya, dengan semangat - empat puluh lima- pula

Tapi bukan itu yang ingin saya ulas, namaun bagaimana idealisme anak bangsa zaman sekarang menghadapi pemilu, yang akan segera digelar 9 April 2009 mendatang (kalau tidak salah)

Menjelang pemilu 2009, selain dihadapkan pada berubahnya system pemilihan dari system pemilihan semi terbuka menjadi system pemilihan terbuka yang memaksa setiap partai politik untuk tetap bertahan dalam system yang penuh ketidakpastian ini, juga dihadapkan dengan fenomena munculnya figure-figure politik yang berasal dari kalangan aktivis dan artis serta munculnya partai-partai baru.

Fenomena tersebut jelas menjadi fenomena baru dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya, walaupun bibit-bibitnya sudah mulai tercium pada pemilu sebelumnya. Dan fenomena-fenomena tersebut bisa jadi merupakan jawaban-jawaban atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik dan juga minimnya figure-figure politik yang dikenal public dan mampu membawa aspirasi rakyat dengan secara sungguh-sungguh. (wah repot neh)

Calon baru dan wajah baru

Munculnya calon-calon legislative dari kalangan mana saja bukan saja upaya partai politik untuk mempertahankan diri dalam pertarungan politik kemudian, pencalonan ini juga merupakan upaya instan partai politik dalam memenangkan pemilu. Kenapa tidak? Mungkin saja bisa jadi partai-partai politik saat ini kehilangan figure-figure politik yang dikenal public - terutama partai-partai baru yang mungkin saja saat ini terlalu pendek waktunya untuk mencetak kader-kader partai yang siap dicalonkan pada pemilu 2009.

Dilematis memang, Fenomena ini bukanlah sesuatu yang tidak berdasar, ditengah-tengah budaya masyarakat yang gemar menonton sinetron dimana public lebih mengenal sosok seorang artis ketimbang “arsitek” politik yang betul-betul bisa membangun sebuah bangsa, jelas merupakan sebuah alasan kenapa partai politik beramai-ramai mengikutsertakan artis dalam pertarungan pemilu 2009 maupun pilkada-pilkada di berbagai daerah di Indonesia.
Siapapun calon itu dan dari mana? Bukanlah sebuah persoalan utama dan itu adalah hak setiap warga Negara.

Akan tetapi, yang perlu dikritisi saat ini adalah bagaimana integritas, kompetensi dan accountabilitas seorang calon. Bukan saja ia dikenal public akan publisitasnya. Akan tetapi kepiawaian seorang calon dalam membangun sebuah bangsa, public perlu mengetahui lebih dulu. masalahnya, siapa yang siap lahir bathin dengan gegap gempita pula, meretas kebekuan dan kekakuan untuk maju mengajak masyarakat berdiskusi, debat terbuka dan lainya, sekedar memanaskan “mesin berfikir” nya?

Mendadak Caleg

Bukan ingin meniru judul film 'mendadak dangdut' tapi saya ko jadi ingin memakai istilah 'mendadak'. setelah pikir-pikir, tertarik juga untuk digandeng dengan kata 'caleg' jadi mendadak caleg.

Menjelang pemilu 2009, banyak orang tertarik menjadi anggota dewan yang terhormat. Entah DPRD kota, DPRD propinsi dan yang pasti DPR RI.mulai dari orang biasa, pengusaha, orang parpol, paranormal bahkan artis pun berduyun - duyun antri daftar jadi caleg. mungkin dalam benaknya jadi anggota dewan itu enak, gaji gede, fasilitas wah, urusan rakyat mah cuma di depan pas waktu kampanye dan dibelakang pas jabatan mau berakhir. Yang penting duduk empuk, udara sejuk, duit masuk, terus mata ngantuk .......zzz...zzz...

Para politisi kita yang benar-benar paham akan ilmu politik ternyata tidak cukup dipercaya oleh masyarakat untuk mereka pilih karena mereka kehilangan popularitas di depan audiensnya. Karena itu pula, politik kemudian bergegas mengusung para artis untuk dapat meraup suara dominan masyarakat. Bahkan orang yang sama sekali sepak terjangnya belum bisa kita baca di surat kabar dan terobosan-terobosan nya di masyarakat tidak kelihatan, juga berani maju di garda depan? Gejala apakah ini?

Kalau kita mengacu pada nilai-nilai demokrasi, tentu saja kita tidak mempunyai hak melarang-larang siapa saja untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi apa saja dalam jabatan-jabatan kenegaraan. Namun, lain cerita ketika kita harus berbicara masalah kepemimpinan berdasarkan hakikat dari hati nurani kita yang ketika membicarakan masalah itu akan banyak hal dilibatkan sebagai suatu pertimbangan. Sebut saja hal yang dimaksud berupa kecakapan mental, kapasitas ilmu pengetahuan, sejarah hidup yang mencetak kepribadian seseorang maupun idealisme yang dibangun setelah melihat kenyataan hidup yang ada.

Sejatinya kita tidak benar-benar paham, akan dibawa ke mana bangsa yang hampir tercerai-berai ini. Kita yakin bahwa sesungguhnya negeri ini memiliki sekian ribu intelektual dengan kecakapan dan spesifikasi keilmuan mereka yang tidak mungkin kita ragukan integritasnya. Namun, pada saat bangsa ini benar-benar membutuhkan tenaga mereka, mengapa mereka justru bersembunyi karena barangkali tidak diberi kesempatan untuk bisa sedikit ambil bagian dalam upaya penyelamatan bangsa dari kehancurannya.

Ketika nama mereka resmi tercantum dalam daftar caleg, serentak seluruh penjuru kota mendadak jadi arena album foto keluarga. wajah - wajah yang dipaksakan ganteng atau cantik terpampang, mencoba menarik simpati para pemilih. tampang - tampang narsis yang membuat kota jadi tambah kumuh.

Menjadi politisi (masihkah ada yang sejati)

Apa gerangan politisi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa politisi sama dengan politikus. Keduanya bermakna ahli politik, ahli kenegaraan dan orang yang berkecimpung dalam bidang politik. Namun, benarkah politisi sekarang ahli sesuai dengan makna tersebut?

Saat sekarang politisi sering dimaknai sebatas orang-orang yang bergelut dalam kekuasaan. Mulai dari kepala negara hingga para anggota dewan disebut sebagai politisi. Dalam kenyataannya, mereka yang memproklamirkan diri sebagai politisi lebih beraktivitas dengan memasang iklan di televisi yang menelan biaya ratusan miliar rupiah, menengok rakyat di pasar hanya pada saat menjelang Pemilu atau Pilkada. Di gedung parlemen, bukan merupakan rahasia umum amplop bertebaran di mana-mana. Pengakuan seorang mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat mencengangkan. Menurutnya, bertebarannya amplop Rp 5 juta atau Rp 10 juta di lembaga perwakilan tersebut seperti sang ayah memberi jajan anaknya Rp 1000 sehari. Sudah biasa.

Bahkan yang pernah saya baca, pengakuan anggota DPR Agus Chondro tentang adanya suap untuk mengegolkan seorang tokohmenjadi pejabat teras Bank Indonesia (BI), terbongkarnya sogok dalam masalah hutan lindung, terungkapnya suap demi meloloskan undang-undang sesuai pesanan, dll merupakan pemandangan sehari-hari. Belum lagi, rame-rame artis dan pelawak masuk parlemen. Para mantan aktivis yang dulu berteriak lantang, kini membagi diri ke dalam berbagai partai. Para politisi hanya menyapa rakyat saat Pemilu/Pilkada sudah merupakan rahasia umum.

Dalam kamus politik yang lain, politik bermakna ri’âyah syuûni an-nâs, yakni mengurusi urusan masyarakat. Berdasarkan hal ini politisi/politikus mestinya adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam mengurusi urusan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berpikir untuk mengurusi pemerintahan dan urusan rakyat; memiliki sikap jiwa (nafsiyah) yang baik; memiliki keahlian dan kemampuan untuk menjalankan perkara kenegaraan; menyelesaikan problematika kerakyatan yang tengah dihadapi dan menuntaskannya penuh kebijaksanaan dan keadilan. Mereka juga adalah orang-orang yang mampu mengatur berbagai interaksi dengan masyarakat dan antar anggota masyarakat. Jadi, politisi sejati memokuskan perhatiannya pada urusan rakyat serta berjuang demi kebaikan dan keberkahan rakyat. Berbeda dengan itu, politisi semu hanyalah memikirkan kepentingan dirinya atau kelompoknya.


Realitas menunjukkan ada beberapa penyebab lahirnya para politisi semu. Pertama: kegagalan ideologisasi partai. Masyarakat paham betul bahwa partai-partai yang ada sama saja. Sehingga yang menjadi tolok ukur (barometer) atas sebuah partai bukanlah dari segi Ideologi partai tapi hanya dalam tatran maslahat saja seperti peduli pada rakyat, bersih (tidak KKN). Partai yang ideologis adalah partai tegas mengatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah. Bukannya malah mengambil kesempatan dalam kesempitan. Partai yang tidak ideologis hanyalah partai kepentingan yang kehilangan ruh. Sehingga ujung dari semua ii adalah pragmatisasi partai yang penuh dengan kepentingan-kepentingan pengusaha, pejabat atau aktor dibelakang partai.


Kegagalan Pengkaderan :

Politisi yang sekadar menjadikan politik sebagai tempat mencari makan adalah cerminan dari gagalnya pengkaderan. Alih-alih bermunculan para politisi yang memperhatikan rakyat, membela akidahnya, menjaga akhlaknya dan memperjuangkan hukum-hukum Allah, justru lahir politisi apa adanya. Perekrutan pun bukan berasal dari sebuah proses pembinaan, melainkan dari popularitas. Tidaklah mengherankan, tolok ukur pemilihan hanyalah keterkenalan. Artis dan pengusaha menjelma menjadi politisi. Para pengamat pun mentransformasi diri menjadi politikus.

Berpolitik untuk materi.

Menyedihkan, banyak orang menjadi politisi hanya sekadar mengejar materi. Siapapun yang mengamati realitas akan tahu bahwa banyak sekali para politisi rebutan jabatan kekuasaan, bagi-bagi proyek, dan menerima uang sogokan. Pikirannya hanyalah bagaimana menang dalam Pemilu/Pilkada. Berbagai sumberdaya dikerahkan ke sana. Politisi pun menjelma menjadi pelaku industri politik.

mengakhiri tulisan ini, aku ingin membaca puisi yang ditulis Soe HOK Gie,

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, kenbah Mandalawangi.
kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

Apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau dekaplah lebih mesra,
lebih dekat.

(lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tau dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.
Soe Hok Gie
Selasa, 1 April 1969

*** apakah pemilu ini menjadi pembuktian idealisme anak bangsa, atau sekedar mencoba keberuntungan ???, kita lihat saja

ditulis pertama kali : 17 Pebruari 2009

0 komentar:

Template by - Fedri Hidayat - 2008