Senin, 01 Februari 2010

Modal sosial dan Integritas



Oleh : Hendra Syahputra

SEPULUH TAHUN YANG LALU seorang pemikir bernama Francis Fukuyama melansir sebuah buku yang sempat menjadi pembicaraan luas di seluruh dunia, berjudul “Trust”. Salah satu bagian penting dari buku itu mengupas tentang apa yang disebutnya sebagai “social capital” atau modal sosial. Fukuyama mendefinisikan modal sosial sebagai norma informal yang dapat mendorong kerjasama antar anggota masyarakat.

Dalam kehidupan sehari-hari, modal sosial akan tampak dari suasana saling percaya antar warga masyarakat. Ada hubungan erat antara modal sosial dengan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat atau bangsa. Negara atau bangsa-bangsa yang tingkat kesejahteraannya tinggi adalah bangsa-bangsa yang memiliki modal sosial tinggi. Argumennya, rasa saling percaya antar warga masyarakat dan kemauan untuk bekerjasama menyebabkan ”biaya transaksi” dan ”biaya kontrol” menjadi rendah, dan hasilnya adalah kehidupan yang lebih efisien dan produktif. Dengan demikian, sumber daya yang ada, dapat dioptimalkan untuk melakukan kegiatan yang membangun nilai tambah bagi kehidupan masyarakatnya.

Melalui kegiatan yang membangun nilai tambah inilah maka multiplier effects bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dapat terwujud.. Sementara itu, dalam tatanan masyarakat yang rasa saling percayanya rendah, diperlukan perangkat kontrol yang berlapis-lapis. Anggota masyarakat sibuk memperjuangkan kepentingan diri, sementara ruang untuk saling memberi sangat sempit. Proses kreatif untuk menemukan cara-cara baru dalam menjalankan kehidupan terhambat, karena setiap inisiatif akan disikapi dengan curiga, bahkan antipati. Sumber daya dan energi yang dimiliki masyarakat dan negara banyak dihabiskan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan nilai tambah. Kehidupan keseluruhan menjadi sulit, boros, dan membebani warga.

Masyarakat yang seperti ini sulit untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmurannya. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan atau menurunkan ”cadangan” modal sosial, antara lain faktor sejarah, kebudayaan, dan pendidikan. Yang paling menarik adalah bahwa agama dan globalisasi disebut sebagai sumber penting bagi peningkatan modal sosial. Agama (agama apapun) merupakan sumber bagi tumbuhnya nilai-nilai luhur yang menumbuhkan rasa saling percaya dan keinginnan kerjasama.

Sedangkan globalisasi memaksa warga dunia untuk berinteraksi dan hidup bersama. Membangun kembali Aceh dan Nias, sungguh memerlukan modal sosial yang sangat besar. Jika masyarakat Aceh relijius, dan jika bencana Tsunami telah membawa Aceh dan Nias ke dalam komunitas global; bisakah kita berharap suasana ini menjadi persemaian bagi tumbuh suburnya modal sosial?.


Bagaimana Dengan Integritas?

Bila kita ingin mencari satu kata yang dapat mencakup seluruh konsep etis dan moral dalam diri seorang profesional, maka kata tersebut adalah “integritas”. Agaknya belum cukup bagi sebuah kata “profesional” untuk menggambarkan kualitas paripurna. Sosok profesional bukan hanya harus melengkapi dirinya dengan kapasitas tehnis yang tinggi dan ketangguhan emosi, namun juga nilai-nilai etis dan moral. Dan, sebagaimana biasanya, lebih mudah membicarakan integritas ketimbang menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Begitu banyak tulisan mengenai integritas, namun tak pernah bosan orang membicarakannya. Memang integritas tidak cukup untuk dibicarakan, ia haruslah hidup dalam arti yang sebenarnya, barulah kita bisa mengenal apa integritas itu.

Setidaknya ada tiga makna yang berkaitan dengan integritas. Pertama, integritas sebagai “unity”, digunakan untuk menjelaskan kondisi kesatuan, keseluruhan, keterpaduan. Makna ini sering terdengar saat kita berbicara tentang wawasan kebangsaan.

Para politisi bilang, “Kita harus mempertahankan integrasi wilayah negara kita.” Ini berarti bahwa kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menjaga kesatuan wilayah negara kita yang terdiri dari banyak pulau. Tentu yang dimaksud bukan cuma kesatuan fisik namun juga kesatuan idea.

Tak mungkin kita bisa menyatukan ribuan pulau dalam wilayah yang sebesar ini bila tidak berusaha menyatukan pandangan jutaan orang yang menghuninya. Dalam dunia komputer, kita mengenal istilah “integrated system” atau sistem yang terintegrasi, yaitu kesatuan sistem-sistem yang saling berhubungan membentuk sistem besar yang menyeluruh dan terpadu, sehingga memudahkan perusahaan untuk melakukan operasi dan kontrol yang lebih efektif.

Integritas bias jadi juga merupakan modal social yang sangat kuat. Pasalnnya, ini merupakan suatu kekuatan hebat. Seperti kata pepatah, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kita tak bisa menggunakan sebatang lidi untuk menyapu. Namun, bila kita mengumpulkan puluhan batang lidi, lalu mengikatnya dengan kuat menjadi satu, maka terciptalah sapu lidi yang dapat kita pakai untuk membersihkan halaman.

Tak heran bila semangat untuk bersatu, bersesuaian dan berseluruhan semakin hari semakin akrab dengan pola pandang kita. Ini bukan berarti penyeragaman, semua harus sama, namun semangat untuk mencari kesamaan yang membuat kita merasa satu meski berbeda-beda. Globalisasi dapat dilihat sebagai semangat kebersatuan manusia dalam ukuran yang mendunia.

Kedua, integritas adalah “incorruptibility”, keutuhan, kebulatan, yang tak tergoyahkan, tanpa cacat. Integritas diambil dari bahasa Inggris, yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin, integritat. Sedangkan dalam bahasa matematika dikenal istilah integr atau integer, yang berarti bilangan bulat tanpa pecahan. Bila kita mempunyai angka 2,3333 maka integer atau bilangan bulat dari angka tersebut adalah 2. Dalam hal ini semua pecahan yang menyebabkan angka tersebut tidak bulat diabaikan. Tentu yang dimaksud dengan bulat di sini bukanlah 0 atau semacam bulatan atau bundaran, namun keutuhan dan kelengkapan suatu bilangan yang tak mengandung pecahan. Bila kita memiliki sebuah rumah kuno dengan arsitektur klasik, kemudian kita menambah bangunan baru bergaya modern, maka dikatakan bahwa bangunan baru tersebut merusak keintegritasan arsitektur atau mengganggu keutuhan idea arsitektur.

Dalam hal ini integritas berarti konsistensi, keterpaduan antara idea dengan perwujudan nyatanya. Seorang aktor film pemenang piala Oscar dapat dikatakan memiliki kualitas seni peran yang tinggi. Bila ia bersedia bermain dalam film “murahan” yang tidak memerlukan keseriusan akting, maka kritikus film mungkin mencelanya sebagai aktor yang tak menjaga integritasnya. Bila anda tahu anda mampu mencapai keunggulan 10 namun anda puas dengan hanya pencapaian 6, maka itu bukan pertanda integritas yang tinggi.

Ketiga, integritas adalah kualitas moral. Hampir semua dari kita mengartikan integritas sebagai “honesty”, kejujuran, ketulusan, kemurnian, kelurusan, yang tak dapat dipalsukan, dan bukan kepura-puraan. Dan barangkali sudah cukup sebuah kualitas jujur sebagai pilar utama kualitas moral seseorang.
Sebagaimana kata orang bijak, bahwa kejujuran adalah mata uang yang laku dimana-mana. Integritas juga adalah ketulusan, sesuatu yang sungguh-sungguh berasal dari dalam hati. Itulah mengapa, integritas bukan cuma jujur pada orang lain. Namun, terutama adalah jujur pada diri sendiri. Integritas bukan kata yang dapat terlihat indera saja, namun harus terasa oleh hati.

Selain itu, integritas adalah “purity” atau kemurnian. Seseorang mungkin disebut sebagai manajer hebat yang mampu mengatur banyak orang, namun bila semua itu itu lakukan dengan memanipulasi orang lain dengan berbagai bahasa diplomasi yang ulung, maka itu bukan sebuah bentuk dari integritas. Integritas bukanlah kepura-puraan.

Integritas haruslah sebuah spontanitas murni dan polos yang lahir dari diri dalam anda. Integritas tidak memerlukan penilaian, atau pertimbangan untuk-rugi untuk terwujud. Ia muncul begitu saja. Barangkali, itulah yang dimaksud oleh Albert Camus bahwa “integritas tidak memerlukan aturan”.

Integritas bukanlah rambu-rambu. Integritas adalah sebuah jalan lurus yang memang tidak memerlukan rambu-rambu. Anda tak memerlukan peraturan apa-apa untuk bersikap jujur dan tulus. Anda tak memerlukan motif apa-apa untuk menjadi seorang yang berintegritas tinggi. Karena, semestinya itu sudah tertanam dalam diri anda. Sayang sekali, mungkin hanya orang-orang suci yang mampu mewujudkan integritas semacam itu. Cukuplah bagi kebanyakan orang bahwa integritas adalah kemampuan kita untuk senantiasa memegang teguh prinsip-prinsip moral dan menolak untuk mengubahnya meski situasi yang kita hadapi sangatlah sulit.

Mungkin juga cukuplah bagi kebanyakan orang bahwa integritas itu adalah kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Namun, tak ada yang salah bila kita tidak berhenti di situ dan terus melanjutkan perjalanan kita untuk menemukan makna integritas yang hakiki.

Dalam refleksi diri kita, integritas mencakup ketiga makna di atas. Integritas adalah kualitas keterpaduan diri seseorang, kesesuaian antara ucapan dan tindakan. Lebih lanjut juga merupakan keterpaduan antara hati, pikiran dan tindakan. Integritas merekatkan diri dalam dan diri luar seseorang, sebagaimana laut menyatukan pulau-pulau di negara kita.

Namun demikian, integritas bukan sekedar kesatuan diri seseorang dengan dirinya sendiri, integritas juga merupakan kesatuan diri seseorang dengan lingkungan dan masyarakatnya, kehidupan sosial dan alam semesta ini. Seorang yang berintegritas tinggi adalah orang yang menceburkan diri pada lingkungannya, bekerja dan berkarya di sana, sekaligus merasakan kesatuan dirinya dengan alam dan masyarakat sekitar; senantiasa mencari dan berusaha mengerti apa yang harus dikerahkan demi kepentingan lingkungannya. Seorang yang berintegritas tinggi adalah seseorang dengan kualitas keutuhan dan tanpa cacat, atau setidaknya selalu berusaha untuk menghasilkan yang terbaik dari kekuatan dirinya. Seseorang dengan integritas tinggi bagaikan sebatang lidi dalam sapu lidi yang bersama-sama dengan lidi-lidi lain mengerahkan kemampuannya untuk menjadi bermanfaat. Seseorang dengan integritas tinggi berusaha untuk menjaga pencapaian tertingginya.

Seseorang yang berintegritas tinggi adalah mereka dengan kualitas moral dan akhlak yang tinggi. Masukkan semua komponen moral, maka kita akan menemukan tempatnya dalam kata integritas. Cukuplah kalimat dari Buckminster menggambarkan hal ini, “The moral grandeur of independent integrity is the sublimest thing in nature”, Keluhuran moral dari integritas yang merdeka adalah hal yang paling luhur di alam ini.

Dan sekali lagi, memang benar,lebih mudah membicarakan integritas ketimbang memahaminya apalagi mewujudkannya dalam kehidupan nyata.

Bisakah kita sama mencoba, menguatkan modal social yang juga bernama integritas???, hanya waktu yang dapat menjawabnya. Semoga

0 komentar:

Template by - Fedri Hidayat - 2008