Jumat, 05 Februari 2010

Lima Tahun Setelah Tsunami, Lalu...


LIMA TAHUN SILAM, persisnya 26 Desember 2004, adalah saat yang paling menyesakkan bagi bangsa Indonesia. Hanya dalam hitungan tak sampai setengan jam, gempa besar dan gelombang tsunami memorak-porandakan sebagian wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Tak hanya bangunan dan infrastruktur yang hancur. Bencana itu pun memakan korban lebih dari 200.000 jiwa. Puluhan ribu orang kehilangan orang tua, anak, sanak saudara. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal yang musnah ditelan air bah. Kini, lima tahun pasca-bencana, kondisi Aceh mulai pulih, walau disana-sini masih tersisa masalah. Aceh tengah menggeliat, berusaha menghidupkan kembali seluruh sendi kehidupan yang terhempas oleh bencana paling dahsyat dalam millennium baru ini.

***
HUJAN yang mengguyur kedai kopi “Chek Yuke” di jantung Banda Aceh itu mulai reda. Aroma tanah basah yang merasuk ke dalam menambah hangat obrolan para pengunjung kedai. Termasuk saya, yang terlibat obrolan hangat dengan lelaki usia 40 an tahun

Lelaki kekar yang sesekali menyeruput kopi hitam itu bernama Fadli Abdullah. Perawakan nya “subur” dan tegap. Sekilas, sosoknya terkesan angker dan tak bersahabat. Setelah berkenalan dan mengobrol panjang, kesan itu mengaup sama sekali. Ia sosok yang hangat, enak diajak bicara, dan tak sungkan menuturkan beragam kondisi yang dia alami

Fadli mengaku baru lima tahun belakangan ini merasa bias menikmati perikehidupan sosisl yang normal, bebas dan tenang. Sebelumnya suasana seperti ini tak dia rasakan dibumi yang juga disebut “tanah rencong” itu. Fadli, lelaki asal Matang, desa kecil di Kabupaten Bireuen, hidup bergerilya di hutan sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

“saya termasuk warga yang ikut menikmati runtuhnya isolasi Aceh. Dibandingkan dengan masa penerapan Daesar Operasi Militer (1988-1999), disusul daerah Tertiib Sipil (2002-2005), hidup di Aceh sekarang lebih tenang. Kini segala sesuatunya relative lebih mudah” ungkap dia membuka pembicaraan kami

Sambil bicara, ia menunjuk sekelompok anak muda yang duduk meriung di meja sebelah kami. “coba lihat mereka. Dulu, mana berani mereka kumpul-kumpul, bersorak-sorak dan tertawa-tawa lepas”, katanya lagi

KEDAI KOPI ZONA DAMAI

Bagi masyarakat Aceh, kedai kopi bukan semata-mata ttempat minum kopi. Tempat itu sering menjadi saksi “pertemuan” antara anggota TNI , mantan personel GAM, dan tokoh masyarakat dimasa konflik. “Bisa dibilang, kedai kopi ini zona damai. Di hutan boleh kita bertikai, tembak-menembak, tapi disini kita berdamai,” katanya sambil tersenyum

Kedai kopi merupakan bagian tak terpisahkan pula dari Budaya Aceh. Inilah tempat persinggahan yang hangat. Semua lapisan masyarakat menikmati dan seperti tergantung akan kehadirannya

Di rumah, mereka jarang sekali menyediakan bubuk kopi siap seduh. Siapa pun yang ingin ngopi meski melangkah menuju kedai. Minum kopi seperti minum air putih bagi kami. “wajib hukum nya”, tutur Fadli
Secangkir kopi seharga Rp 4.000 seperti tak pernah habis menjadi teman mengobrol sampai berjam-jam. Terkadang sambil mengunyah kue timpan dan pulut, penganan khas dari tepung ketan yang dibungkus daun pisang

Fadli kembali mengenang, kehidupan social seperti itu jarang sekali terlihat semasa Aceh masih dilanda konflik dan beberapa waktu setelah dilanda tdunami pada 26 Desember 2004. “Damai dan tsunami menjadi titik awal untuk bangkit kembali dari ketertinggalan dan keterbelakangan ekonomi”, ia menegaskan

EKONOMI MULAI PULIH

KEDAI KOPI boleh dibilang menjadi penanda utama bahwa roda perekonomian Aceh mulai bergulir lagi setelah mati suri dihantam tsunami. Hanya dua hari setelah tsunami, pada saat hamper semua bisnis macet, dua kedai kopi kembali beroperasi di Banda Aceh. Satu berlokasi di Ulee Kareng, satu lagi di kompleks Pasar Ateuk Pahlawan

Perekonimian yang mulai pulih juga dirasakan Saiful Azhari, pengusaha baju kaus yang punya toko sebagai ruang pajang. Sebuah pesawat radio tua bikinan Jepang menghiasi satu sudut toko berukuran 6 x 10 meter tersebut. Aneka poster berukuran sedang dn kecil dengan gambar beragam desain kaus pun menghiasi seluruh dinding ruangan.

Pagi itu, sekitar pukul Sembilan, saiful sudah siap mengantar barang dagangan kepada pelanggan yang memesan baju kaus nya. Para pemesan bukan hanya didalam kota, melainkan juga di daerah sekitar Banda Aceh, bahkan sampai ke Jawa. “Dengan bisnis inilah aku mampu membiayai adik-adik,” kata lelaki berusia 29 tahun ini

Saiful yang akrab disapa Bewok itu, merintis usaha ini bersama istrinya, Ratnasari Dewi. Perempuan asal Jakarta ini dikenalnya setelah tsunami melanda Aceh. Pada waktu itu Dewi bekerja untuk sebuah lembaga International yang ikut berkiprah membantu korban bencana. Saiful sendiri kehilangan Ayah dan Ibu nya yang ditelan air bah pada hari yang paling menyesakan bagi warga Aceh itu. Dialah yang mengambil alih tanggung jawab menghidupi adik-adiknya. Kini bersama Dewi, ia membiayai dan menyemangati adik-adik nya untuk menyelesaikan kuliah

Namun, dibalik suasana yang tampak telah pulih di Banda Aceh itu, masih tersisa sejumlah masalah menggantung. Gubernur Provinsi Aceh, Irwandi Yusuf, menyebutkan bahwa ada empat persoalan yang belum terselesaikan setelah lima tahun musibah tsunami melanda wilayah itu

EMPAT PERSOALAN TERSISA

IRWANDI tidak menafikan keberhasilan yang sudah diraih badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Badan yang dibentuk pemerintah beberapa waktu setelah tsunami ini memang bertugas memulihkan kondisi wilayah yang terkena bencana.

“tugas yang dilakukan BRR memang menuai banyak sukses, tapi masih juga menyisakan empat persoalan yang harus dituntaskan,” katanya pada acara puncak renungan lima tahun tsunami di Pelabuhan Ulee Lhue, Banda Aceh, 26 Desember 2009 yang lalu

Ia merinci keempat masalah yang belum tuntas itu. Pertama adalah pembangunan kembali infrastrukturstrategis, seperti jalan dan jembatan. Meliputi jalan barat – selatan, lintas tengah, jalan provinsi dan kabupaten. Panjang total jalan yang masih harus dibangun sekitar 1.160 kilometer

Ia merinci keempat masalah yang belum tuntas itu. Pertama adalah pembangunan kembali infrastruktur strategis, seperti jalan dan jembatan. Meliputi jalur lintas barat-selatan, lintas tengah, jalan-jalan provinsi dan kabupaten. Panjang total jalan yang masih harus dibangun sekitar 1.160 kilometer

Kedua, pembangunan ekonomi strategis dan ketenagakerjaan. Ketiga, pembangunan social kemasyarakatan dan kelembagaan. Keempat adalah kegiatan pendukung lian nya. “ Ke depan tantangan yang kami hadapi sangat beragam. Namun tantangan tersebut bias kami hadapi dengan semangat kebersamaan dan kerjasama yang baik,” katanya

Tak bias disangkal pula, bencana gempa dan tsunami itu telah mengikat tali persaudaraan manusia di muka bumi melalui solidaritas kemanusiaan. “ Tsunami itu pula yang mempercepat langkah setiap pihak untuk menuju meja perundingan danmengakhiri konflik Aceh, “ Irwandi menambahkan

Selain itu, Tsunami juga telah melahirkan kesadaran umat manusia untuk membantu membangun kembali Aceh dari keterpurukan dan kehancuran melalui proses rehabilitasi dan rekonstruksi selama empat tahun (2005 – 2009). “ perhatian masyarakat nasional dan internasional selama lima tahun tersebut telah menghasilkan berbagai kemajuan dan mendorong masyarakat Aceh untuk bangkit kembali,” ujarnya

MASALAH UTAMA PARA PENGUNGSI

Irwandi lalu merinci pencapaian selama lima tahun proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Ia menyebut, antara lain, pembangunan 124,454 unit rumah permanen, 3.005 kilometer jalan dan 226 unit jembatan. Selain itu, telah dibangun pula 1.450 gedung sekolah, 979 kantor pemerintah, 12 bandar udara, 20 pelabuhan laut, dan perbaikan lahan pertanian seluas 103.273 hektare

Namun, dibalik itu semua masih tersisa masalah lain yang tak disinggung Irwandi. Masih terdapat ribuan warga yang tinggal di tempat-tempat penampungan sementar korban tsunami. Mereka belum mendapat jatah rumah yang sejak awal dijanjikan, kendati semua terdata

Tengok saja kawasan penampungan yang ada di sekitar Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. “ Sudah lima tahun kami belum mendapatkan rumah bantuan yang dijanjikan dulu,” kata Ardi, 31 tahun, seorang korban tsunami yang tinggal disitu

Ardi mengaku, semua data sudah dilengkapi untuk syarat mendapatkan rumah itu. Tanahnya pun masih ada di desa itu, yang hanya beberapa meter dari pinggir laut. Namun, sampai saat ini, dia tidak mengerti kenapa belum mendapatkan rumah.

Di tempat penampungan sementara itu, ardi tinggal bersama istrinya. Seorang anaknya meninggal ketika tsunami menerjang, lima tahun silam. Tsunami juga merenggut nyawa kedua orangtuanya.
Ardi pun membeberkan, dulu BRR pernah mengabarkan bahwa dia telah mendapatkan bantuan rumah di komplek relokasi warga korban tsunami di Desa Labuy, Aceh Besar. “ tetapi pada saat saya datang kesana, rumah yang katanya untuk saya tidak ada, sudah ditempati orang lain. Saya tidak mau ribit-ribut, terpaksa saya tinggal di barak lagi,” ujarnya

Hal yang sama diutarakan Nurdin. Lelaki berusia 36 tahun ini sampai berani bersumpah bahwa dia belum mendapatkan rumah. “ Saya berhak atas rumah karena saya korban seperti yang lain. Semua data dan syarat telah saya kantongi, tapi rumah belum saya peroleh,” katanya kesal

Sampai saat ini, mereka masih berharap mendapatkan bantuan rumah sehingga tidak perlu lagi tinggal di tempat penampungan sementara.

“Sudah lima tahun tsunami, kami hanya mendapatkan janji-janji, “ tutur Burhan, warga korban tsunami lainnya.

PROSES MASIH PANJANG

Terkabar, bersamaan dengan acara yang digelar di Ulee Lhue, berlangsung unjuk rasa warga di Meulaboh. Mereka yang berunjuk rasa membawa bendera Gerakan Pejuang Rumah Tsunami itu mengaku korban tsunami yang belum mendapat bantuan rumah. Menurut catatan mereka, masih ada 1.569 warga korban tsunami di Aceh Barat yang tinggal di penampungan sementara

Ketua badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA), Iskandar, mengakui fakta bahwa masih ada warga korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. BKRA adalah lembaga yang melanjutkan tugas-tugas BRR yang dianggap belum tuntas. Tugas BRR sendiri berakhir April 2009

Iskandar mengucapkan, banyak pengaduan yang masuk dari masyarakat soal belum adanya rumah bantuan. Terdapat sekitar 200 pengaduan masyarakat yang mengaku sebagai korban tsunami. “ BKRA memegang data awal, semasa BRR masih ada. Bantuan rumah umumnya sudah teratasi. Hanya sekitar 3.200 rumah lagi yang masih diperlukan,” ujarnya

Iskandar mengatakan, untuk mengatasi persoalan itu, dibutuhkan koordinasi yang kuat dengan para bupati dan wali kota di Aceh. Data masih perlu diverifikasi ulang. Jika ada korban tsunami yang benar-benar belum mendapatkan rumah, BKRA akan mengajak donor maupun pemerintah Aceh untuk membantu melalui program lain. Misalnya program pembangunan rumah kaum dhuafa maupun proyek rumah bantuan dari para donor

Memiliki masalah yang tersisa, proses rekonstruksi, rehabilitasi, dan pemulihan Aceh masih akan makan waktu panjang. Demikian pula beban tugas yang di emban BKRA masih cukup berat. Agaknya belum bias diperkirakan kapan tepatnya upaya rekonstruksi, rehabilitasi dan pemulihan Aceh tuntas seluruhnya.

0 komentar:

Template by - Fedri Hidayat - 2008