Minggu, 31 Januari 2010

Cinta Dalam Seekor Nyamuk



Oleh : Hendra Syahputra

DESEMBER 2009 BERAKHIR. Musim hujan mulai datang di Bulan Januari 2010. Langit Banda Aceh berwarna biru cerah. Indah. Jarang sekali terlihat di tempat yang lain. Aku baru saja menyelesaikan tulisan panjang tentang lima tahun pasca gempa dan tsunami di Aceh. Persiapan untuk tulisan ini cukup matang dan manjang. Aku menuliskan laporan panjang ini untuk edisi khusus Majalah GATRA, yang memuat tulisan panjangku di ruang RAGAM. Kepuasan aku rasakan saat menuntaskan kata-kata terakhir dalam artikel itu. Persiapan dan tuntasnya tulisan untuk GATRA No. 09 TAHUN XVI, edisi 7-13 Januari 2010 kelar dengan menyenangkan. Langit biru bertambah indah. Aku larut dalam do’a . tahun baru segera tiba. Semangat baru untuk bekerja di iringi do’a adalah harapan terbaik.

***

Bandara Sultan Iskandarmuda, Banda Aceh – 8 Januari 2010

Seorang laki-laki muda menyapa saya, menanyakan mau minum apa. Saya sedang duduk di sebuah kantin mini, tepatnya cafetaria terbuka, di ruang keberangkatan Bandara Sultan Iskandarmuda- Banda Aceh. Bandara sangat ramai sekali saat itu. Sapaan laki-laki itu tidak begitu terdengar, karena ramai nya orang yang hilir mudik. Akhirnya saya memutuskan memesan teh hijau hangat. Badan saya agak tak enak, namun semangat ketemu anak-anak dan istri membuat semuanya terasa tak begitu saya rasakan. Sambil menyeruput the hijau panas, saya membaca sebuah artikel koran terbitan Jakarta. Judul artikel itu,laki-laki perlu menangis.

Sesekali tangan saya memencet tombol Blackberry yang ada di tangan kiri. Saya menanyakan kabar sahabat baik saya, Mahdi Muhammad, yang belum tiba juga di Bandara. Beliau telat karena menghadiri acara coffe morning dengan Pangdam Iskandarmuda, pagi itu. Sementara jam keberangkatan tinggal 25 menit lagi. Untungnya Ticket Mahdi ada dengan saya. Saya sudah melakukan check in atas naman nya. Jadi jikapun telat dia tak terlalu repot dengan urusan tetekbengek chec in – Bandara yang repot jika mendadak. Mahdi sahabat saya di Banda Aceh. Dia bekerja di Koran Kompas. Orangnya ulet, tulisan nya bagus dan enak dibaca. Saya selalu membaca berita yang ditulis Mahdi. Jika ada hal-hal yang perlu didiskusikan, tak sungkan saya juga menelpon nya meminta waktu untuk bicara dan diskusi. Tak pernah di tolak, Mahdi selalu menyiapkan waktu untuk berdiskusi dan ketemu di warung kopi langganan kami, yang jumlahnya ada beberapa. Semua enak dan terkenal di Banda Aceh. Semua orang yang datang dari luar kota, jika dia sahabat, pasti saya ajak ke warung kopi di Banda Aceh

waktu menunjukan pukul 11. 15. WIB. Mahdi tiba diantar Bang Hotli Simanjuntak. Dia seorang wartawan The Jakarta Post yang bertugas di Aceh. Selain menulis, dia juga seorang photografer terkenal. Aku mengenalnya cukup lama.orangnya baik dan perhatian. Dia laki-laki pekerja keras dan sayang keluarga, asal Medan

Melihat ia tiba, saya langsung menarik koper, menuju cassier dan membayar minuman yang saya pesan. Kami menuju ruang keberangkatan. Mahdi membawa dua tas Ransel besar, dan satu tas kecil di pinggangnya. Dia memakai baju batik. Saya membawa satu koper dan 1 tas ransel.oleh-oleh untuk Geby, anakperempuan ku, kalung mutiara dari China dari seorang sahabat yang baru pulang study, aku selipkan di dalam kantong jacket ku. Takut hilang. Sementara mainan untuk Caesar, anak laki-laki ku ada di tas koper. Istriku aku bawakan kue-kue dari Aceh, kesukaan nya. Semntara untuk Ibu juga aku bawakan bumbu pecel dari seorang sahabat di Banda Aceh. Bang Irfan, rekan kantor ku bertanya, kenapa bawa bumbu pecel dari Banda Aceh? Bukan nya bumbu pecel di jawa lebih enak. Hmmm, bang Irfan, nggak tahu nikmatnya bumbu pecel bude parti, terkenal di Banda Aceh. Enak tenan. Aku gak sempat cerita ke bang Irfan. Suatu saat akan aku ceritakan pada nya. Kenapa

***
JUM'AT PAGI, 8 Januari 2010. pukul 11. 45. Pesawat Lion Air, membawa saya dan Mahdi dan besarta 60 penumpang lain nya menuju Jakarta tanpa transit. Perjalanan 2,5 jam di udara sangat menyenangkan. Kami duduk di seat 35 a dan b. Hanya kondisi badan semakin terasa tak enak saja. Saya mual seperti mau muntah. Pagi memang tak sempat sarapan,karena mempersiapkan ini dan itu untuk di bawa ke Jakarta.

Sepanjang perjalanan itu pula, saya terlibat diskusi macam hal dengan Mahdi.penerbangan dengan Mahdi, adalah penerbangan saya yang pertama pergi satu pesawat. Kebetulan cuti kami bersamaan. Mahdi memang dari Jakarta. Bapak dan Ibunya tinggal di Pondok Gede. Bapak dan Ibuku di Rawamangun. Kami diskusi banyak hal, seputar kehidupan di Banda Aceh, sampai kondisi liputan di lapangan. Mulai dari yang susah sampai yang senang, dari yang menyenangkan sampai menjengkelkan. 30 menit menjelang sampai di Bandara Soekarno Hatta,kami pun terlelap. Saya tak ingat lagi, buku yang saya baca sambil ngobrol sudah halaman berapa. Buku tertutup kalah cepat, alias duluan mata saya yang mengantuk. Pembatas bukupun lupa tak saya selipkan.

***
waktu Jakarta menunjukan pukul 14. 30. saya dan Mahdi tida di Bandara Soekarno Hatta- Jakarta. Perut lapar dan terasa keroncongan. Namun kami harus menuju ruang bagasi. Tas Mahdi lebih cepat sampai di tangan nya. Tas saya hampir kebawa transit ke Pontianak. Untungnya saya cepat lapor ke petugas transit. Koper pun berada di tangan saya, setelah setengah jam menunggu. Kami menuju lantai dua bandara. Sholat dan memutuskan makan di Ayam Bakar Patmawati, Bandara. Kami memesan makanan yang sama. Banyak. Kami lapar sekali.

Sambil makan, aku membiarkan seorang anak laki-laki berumur kira-kira 11 tahun, menawarkan jasa menyemir sepatuku. Sepatu both hitam yang memang jarang disemir itupun, pindah ketangan anak kecil itu. Sepatu berubah warna lebih kinclong, aku agak girang. Aku membayar anak tersebut dengan upah 10.000. dia mengucapkan terimakasih. Wajahnya tersenyum puas, sepuas hatiki melihat sepatu itu mengkilat. Kinclong lagi

Selepas makan, aku dan Mahdi berpisah. Dia menuju Bus arah Pondok Gede. Aku memutuskan naik taxi. Kepala ku mulai pusing nyut-nyutan. Aku nggak kuat naik Bus (kali ini).

Bluebird langganan ku mengantarkan ku sampai ke rumah. Bude ku (adik ibu) menyambutku hangat. Pak de mengangkat koper ke kamar, ketika aku sampai. Aku gak kuat ngobrol lama. Kuputuskan untuk melanjutkan istirahat alias tidur. Pad de dan Bude mengamini, seteklah memberikan segelas panjang the hangat. Hangat sekali

***
Aku mengantongi Ticket Garuda. Di Jakarta rencana nya cuma sehari. Aku akan ke Surabaya, ketempat anak-anak dan istriku. Istriku sedang menempuh pendidikan dokter spesialis di Universitas Airlangga, mengambil Program Ilmu Kulit dan Kelamin . Ia juga menyelesaikan pendidikan S-2, Magister Rumah Sakit. Alhamdulillah . Allah sangat menyayanginya. Pendidikan Alhamdulillah, berjalan mulus. Semoga nikmat Allah terus ada dalam kariernya, untuk membela agama Allah dan keluarga. Aamiin

Rencana ku berangkat ke esokan harinya batal. Aku demam panas lagi. Kali ini panasnya tak biasa. Aku tak bisa membuka mata sama sekali. Ini terjadi di Sabtu Siang pukul 14.30, selepas aku menghadiri pernkahan seorang kerabat dekatku, Anto Juma'in. Sabtu itu dia menikah dengan calon istrinya, Nia Pertiwi (sekarang istrinya). Padahalnya paginya jam 06.00 wib. Aku masih segar bugar. Aku menuju ke pernikahan Anto, diantar Bapak Angkatku (Romo Tirto) dan Ibu. Romo adalah Ayah Ratnasari Dewi (Dewi Grenjo), dia istri Saiful Azhari, sahabatku. Kini Dewi sedang sekolah di Amerika, Saiful berada di Banda membangun usahan nya. Sebentar lagi dia akan menyusul Dewi ke Amerika.

Saya memutuskan tak bisa lama di acara pernikahan Anto. Anto agak berat hati melepas saya. Dia ingin saya menyanyikan lagu “bukan cinta biasa-nya Afgan Syahreza” di pernikahan nya. Saya terpaksa menolah.keringat di Badan saya tak kuasa saya bendung. Panas Badan tinggi. Tak tahu berapa tingginya

saya Tiba di Rumah tepat pukul 14. 30. Badan saya menggigil hebat. Say tak kuasa menahan sakit kepala. Mata sulit dibuka. Saya dilarikan ke Sebuah Rumah Sakit di Jakarta Pusat. Saya cepat dibawa ke IGD. Pak de Suradi mengantar saya, Mamak, Pak De Bandi, Le Inah dan Wiwin sepupu saya mengantarkan saya ke RS. Sepanjang jalan saya menggigil dan muntah. Mata sulit dibuka. Saya berada di ruang Instalasi Gawat Darurat.

Semua gelap

Badan tak dapat saya gerak kan. Kaku.karena panas yang cukup tinggi. Doketr yang saya dengar hanya suaran nya. Saya hanya merasakan suntikan di tangan, suntikan untuk infus dan selang nya serta dimasukan alat pengukur suhu ke ketiak saya. Subhanallah. Panas saya 43 derajat C. saya mendengar dokter jaga menyebutkan itu. Hasil Lab yang keluar cepat 15 kemudian, menyatakan saya sehat dan tak ada apa -apa. Alhamdulillah. Meski panas tak turun malah tambah hangat dan menggigil disertai muntah hebat dan sakit kepala yang sangat kuat dan hebat pula. Blufff, sambil berfikir tentang kenapa. Saya pingsan

(saya tak merasakan apapun sejam lebih, walau kemudian sadar)

Kataballohu maqoodiirol kholaaiqo qobla ayyakhluqossamaawaati. wal ardho bi khomsiina alfa sanatin. (Allah telah menulis qodar-qodar nya makhluk limapuluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi – H.R. Muslim dalam Kitabul Qodar)”

aku tersadar. Sore senja itu menunjukan pukul 18.00.wib.Magrib di Jakarta. Aku sholat di rumah sakit, meski lemas dan tak berdaya. Sore itu tidak sama seperti sore yang lain. Di dalam benak ku, semua mendadak menjadi gelap. “Masya Allah”, lafadz ku dalam hati dengan bibir bergerak. Aku kaget luar biasa. Aku takut bukan kepalang. Pikiran macam-macam dan bisikan aneh muncul di Benak ku. membuat sekujur tubuhku lemas seperti tak bisa di gerakan. Alu ingat seorang sahabat yang awalnya sakit sepetrti gejala sakitklu. Achsan Indriadi, sahabatku yang baik divonis dokter terkena penyakit yang sekarang paling ditakuti, H5N1 alias flu burung. Penyakit yang mematikan. “Ya Allah”, kami pasrah padamu. Aku terduduk lemas, semua mendadak gelap dalam benak ku.

Aku dibawa pulang selesai sholat. Hasil Lab memang tak menunjukan apapun. Semua baik-baik saja.

Dalam mobil Avanza warna hijau kulit telur,milik Bude Inah, aku sempat berfikir.kenapa harus aku yang sakit. “Kenapa harus Aku ya Allah? Kenapa tidak yang lain nya? Kenapa bukan koruptor? Kenapa bukan teroris? Kenapa..kenapa?? kenapa???.” Kalimat Tanya itu menyeruak seperti tak berhenti dan tidak menemukan tanda titik untuk menghentikan nya. Zikir dan do’a selepas sholat magrib , semakin kurasa kuat sekali. Bahkan aku merasakan do’a-do’a yang kulafaldzkan sangat bertenaga. aku berusaha berdamai dengan jiwaku (Allah, pertolonganmu pasti dekat)

aku seperti merasa berada diruang terisolir di tengah ramainya manusia. Di ruangan sunyi dan terisolir itu, terasa bisikan bisikan syetan untuk tidak sabar, untuk merasa berat melakukan ibadah sholat, sering dibuat mimpi-mimpi yang melemahkan keimanan, untuk menyerah dengan keadaan dan pasrah pada perasaan lemah. sesekali bisikan untuk putus asa, dan yang parah adalah prasangka buruk pada Allah

innal’abda idza sabaqot lahu minnallooh manzilatun lam yablugh haa bi’amalihi ibtalaahulloh fii jasadihi au fii maalihi au fii waladihi summa shobbaro’alaa dzalik summattafaqoo hattayub lighohul manzilatallatii sabaqot lahu minnalloohi ta’alaa – sesungguhnya seorang hamba Allah ketika telah mendahului padanya (qodar) drajat dari Allah yang dia tidak bisa mencapai dengan amalan nya, maka Allah member cobaan padanya, di dalam jasadnya atau hartanya atau anak nya, kemudian Allah member lagi kesabaran pada nya dalam menghadapi cobaan tersebut sehingga Allah menyampaikan padanya derajat yang telah di qodar untuknya disisi Allah ta’ala. (HR. Abudawud)

Tapi semua itu, bisa aku jalani dengan baik. Pada saat inilah nasehat, ajakan berdoa, peringatan untuk sholat bisa dengan segera menghilangkan pengaruh-pengaruh syetan tadi. Semangat itu aku dapatkan dari istriku yang tak henti-hentinya menelpon. Istriku belum mendapatkan ticket ke Jakarta. penerbangan Surabaya - Jakarta padat dan ticket banyak yang habis

Semangat untuk sembuh dan berharap pertolongan Allah, semakin kuat aku rasakan, meski harus muntah dan muntah lagi. yang ada setelah semangat itu, adalah lemas dan tak berdaya. aku kalah kali ini

sampai di rumah. Aku sempat tak sadarkan dir lagii. Dalam kondisi tak sadar itu, aku bermimpi buruk macam macam. mimpi ketemu sahabat-sahabat yang wajahnya berubah seram, dan lain-lain, Subhanallah.

teringat sebuah sajak, yang pernah kubaca. : Ke mana pun kau menoleh/ Kita bakal bertemu /Karena kau hanya daging /Kemanapun kau menoleh /Kita bakal bertemu /Karena kau hanya tulang /bakal merapuh dalam sendiku



***
MINGGU, 10 januari 2010. Saya berada di ruang IGD RS. Mitra Keluarga, Kemayoran, Jakarta. Keluarga besar bude dan ibu, mengantarkan aku ke ruang itu. Panas badan meninggi lagi. Kali ini takut bukan kepalang. Tak bergerak dari angka 42 derajat C. panasnya betah tak mau pergi dari tubuhku. Bule’ Inah panik. Pak De Bandi juga panik. Mataku tak bisa dibuka, sakit kepala buan main hebatnya. Muntah-muntah yang sudah tak jelas dan durasi yang lama, membuat aku juga ikut tak kuat berfikir di tengah panasnya badan ku.

Lelaki yang kelihatan berumur 40 an mendekati aku. Mata ku susah terbuka,. Kupaksakan membuka mata, mengintip siapa yang datang ke ruangan itu. Dr. Tommi, begitu yang kubaca dari nama yang tertera di atas kantong kanan jas putihnya. Dia spesialis penyakit dalam. Ia mendekati aku. Ia memeriksa kembali suhu badan ku serta memeriksa darah. Hasilnya 20 menit kemudian. Positif DBD (demam berdarah) dan serangan demam cikungunya. Entah kapan dan dimana kena gigitan nya. Aku tak sanggup berfikir keras. Panas makin tinggi…bluffffff, aku pingsan lagi. Aku di rawat (opname) sejak hari itu. Hari libur dan cuti pun di mulai di ruangan 5 x 4 itu, ditemani tiang infuse, selang infuse dan berbagai macam injeksi, yang masuk ke tubuh selang beberapa menit dalam setiap jam nya. Aku berfikir Allah tak “meng-aproval” cutiku kali ini di tempat lain. Rumah sakit adalah tempat yang paling istimewa.

***
SENIN, 11 Januari 2010. Saya merasakan sentuhan seseorang di sore hari itu. Sebuah kecupan mendarat di kening ku. Aku juga merasakan tetesan air mata hangat tumpah dipipiku, karena sentuhan itu. Hmmm. Istriku sudah tiba ternyata. Ia baru saja tiba di Jakarta dari Surabaya, sore itu. Kulihat jam diinding di belakang nya menunjukan pukul 18.05 WIB. Magrib sudah tiba
Tanpa basa-basi, ia membimbingku tayyamum, dan sholat. Suasana hangat, sehangat badanku..

“ makan ya Bang, paksakan walau sedikit. Abang nggak bias gini terus. Ayo semangat”, begitu suara istriku yang sering ku sapa Ayang (sayang maksudnya).

Berat yang, gak kuat perutnya. Abang minum aja ya, kataku pelan tak membuka mata.
Istriku bergegas mengambil makanan disisi kepala tempat tidur. Dengan cermat ia menyulang sendok demi sendok makanan ke mulut ku.

“hbuakkkkkkkkkkkk, muntah yang”, pekik ku tak kuasa menahan muntah yang ingin segera keluar begitu menikmati makanan berwujud bubur dan menu untuk pasien DBD yang disiapkan pihak rumah sakit untuk ku.

Apapun rasanya tak enak, dan tak ada yang menggoyahkan selera makan ku. Muka ku semakin cekung saja. Semua persendian terasa sakit. Aku tak kuat untuk sekedar bangun duduk diranjang.

“masya allah”, pekik ku dalam hati. Gak enak banget rasan nya sakit begini. Hari itu hari ke empat aku di rumah sakit di opname. Semua HP ku mati tak ada batere, Blackberry entah dimana berada. Aku bahkan tak bias memikirkan untuk meminta seseorang untuk sekedar membantu mengirimkan sms kepada Ayah dan ibu ku yang berada di luar Jakarta. Aku kangen dipeluk mereka.

“yang, bolehkan abang menangis”, bisik ku pelan pada istri ku

“kenapa tiba-tiba bicara itu”, kata nya padaku dengan nada heran

Abang ingin menangis, karena kangen pada Ibu dan Ayah. Kangen sentuhan tangan mereka di kepala Abang. Abang ingin minta maaf, badan abang panas sekali, kata ku tak tenang

Sebelum aku menuntaskan kata-kata itu, istriku lebih duluan menangis. Kami berpelukan meenangios bersama. Dikamar kecil rumah sakit itu, ia bilang tak mau berpisah dariku. Senja tampak sedikit dibalik jendela kamar aku dirawat. Alunan suara istriku pelan di telinga kanan, melafaldzkan ayat-ayat suci Al-qur’an. Obat yang paling mujarab yang kurasa untuk menenangkan jiwa.

“Allah, maafkan aku sekiranya aku lalai dan lemah dalam beribadah”, bisiku sendiri, tak ada yang mendengar.

***

14 Januari 2010. Hari ketujuh aku di rumah sakit di opname. Panas badan sudah turun menjadi 37 derajan C. namun trombosit ku sangat rendah. 22 ribu dari 168 ribu yang dianjurkan untuk menuju sehat. Badan ku lemas, makan tak kuat, pergelangan tangan dan sebagian pembuluh darah di tangan bengkah dan pecah. Aku kesakitan bukan main. Aku kangen sahabat-sahabatku. Mungkin kah mereka tak tahu aku sakit?. Masya allah, aku benci sendiri

Teringat aku sebuah puisi :

Aku berkata pada malam-malam
Berapa rahasiakah yang tersembunyi padamu?
Beritahu aku tentang rahasia-rahasia yang menakjubkan
Aku berkata, dalam semua cahaya yang menyinari hati
Kegelapanku terdapat rahasia
Seperti air mata orang yang mohon ampun
Di waktu sahur


Aku memegang tangan istriku erat. Dokter memutuskan untuk memberikan transfuse darah untuk meningkatkan trombositku. Trombosit mesti ditingkatkan agar aku tak berbahaya. Masalahnya sampai hari ke tujuh trombosit tidak naik-naik. Demam memang turun, trombosit turun. Justru masa krisis berada disaat-saat seperti itu. Subhanallah, sembuhkan aku ya Allah, pintaku pelan.

MENANGIS. Ya ini obat paling mujarab juga untuk melegakan hati. Teringat aku artikel yang ku baca di Bandara sultan Iskandarmuda, saat menunggu Mahdi, sahabatku. Laki-laki perlu menangis.. entah kebetulan atau tidak, nasehat-nasehat dalam artikel itu seperti mujarab bagiku. Aku menangis, berdo’a pada Allah, dan bersyukur dengan nikmat sakit yang IA berikan. Sungguh ini juga nikmat yang lain, bathinku berdamai dengan diri

Menangis merupakan sesuatu yang terjadi lumrah pada manusia. Termasuk laki-laki. Meski sejak kecil, sering ayah melarang menangis. “laki-laki nggak boleh nangis, jangan cengeng” teringat aku kata Ayah hamper 25 tahun silam, saat itu aku berumur lima tahunan lebih.

Padahal menangis merupakan fitrah manusia. Tangis yang kurasa adalah tangis ketakutan> aku ingin menjadi sholeh. Tidak sia-sia. Teringat aku nasehat dari Anto. Tangisan orang sholeh mempunyai makna khusus, karena tangisan itu muncul dari rasa takut kepada Allah dan azab –Nya. Sehingga mereka merenungkan hal-hal yang terjadi, sebagai orang mukmin yang bertaqwa

Teringat syair-syair islam yang pernah kubaca :

Aduhai malam perlahan semakin kelam
Manusia tidur, sedangkan air mataku terus bercucuran
Jiwaku dirundung kesedihan dan penderitaan
Dan hilanglah semangat
Aku melihat lilin yang bercucuran air mata
Seperti yang kurasa dalam tangis ku


PAGI MENJELANG. Tak ada kokok ayam di rumah sakit, tapi aku memang selalu bangun pagi cepat untuk shalat subuh.

“bang, bagaimana kalau abang sms teman-teman kantor, mengabarkan abang sakit”kata istriku
“iya yang, tapi abang gak tahu dimana HP”, ada melihat, kataku menjawab usulan nya
Ternyata HP tinggal dirumah. Pak De Bandi mengantarkan HP dan Blackberry ku ke RS beseerta charge batre nya. Jelas saja batrenya habis. Istriku mencharge kan semua nya untuk ku.

Selang sejam kemudian, Blackberry aku aktifkan. Aku masih tertidur, badan ku tak bias diajak duduk enak. Tak lama kemudian e-mail dan sms masuk. Jumlahnya lebih seratusan. Miscall dari Ayah dan Ibu, juga Romo dan Ibu adalah yang paling banyak. Sms Romo dan Ibu sampai 12 kali dikirim dengan pertanyaan yang sama

“hendra, kamu dimana Nak?, room dan ibu tak mendengar berita dari kamu”, begitu sms Romo dan Ibu
“hendra, gimana kabar mu saying? Ibu gak bias kontak HP mu dan HP istrimu”, ibu dengar kamu sakit, dirawat dimana?, begitu sms Ayah dan Ibu ku

“mas hendra, gimana kesehatan nya? Mas dirawat dimana? Begitu dek Wulan, anak bungsu romo mengirimkan sms beberapa kali padaku.

“gimana Ndra, sudah sehat? Jangan terlalu diporsir”, ini sms jenaka dari bang fadli di Banda Aceh
“abang sakit ya, semoga cepat sembuh” sms Reza pada saat yang sama dengan bang fadli
“gimana kabar nya Hendra, DBD nya sudah sembuh?, banyak berdo’a ya. Allah bersamamu”, in isms sahabat baik ku Darnifawan di Amerika

“ hendra, kamu gak papa kan. Do’a ku selalu untuk kesembuhan mu”, seorang adik Ratnasari dewi, mengirimkan pesan dari Little Rock- Amerika. Dia baru saja balik keliling Amerika di tahun baru, dan kembali ke kampus nya di Little Rock

Sementara Saiful, suami dewi, meminta Ibu dan Romo mencari aku di seluruh RS Jakarta. Saiful kehilangan kontak hamper sepuluh hari dengan ku. Dia tahu kabar aku sakit. Namun tak tahu dirawat dimana

***

MINGGU, 18 januari 2010. Badanku mulai terasa egak enak, meski trombosit belum juga naik. Trombosit masih di angka 35 ribu. Aku layu seperti bunga tak disiram.

Pagi iitu, Romo dan Ibu mengunjungiku di RS. Mereka membawa kue roti dari Holland Backerry, enak sekali rasanya. Aku memakan nya sepotong.

“kok gak kabarin Romo cepat, Le” kata Romo memanggilku Tole (anak laki-laki dalam bahasa jawa
“ HP nya mati dan gak tau dimana waktu itu Mo”, kata ku, sambil bercerita sakitnya kepala dan muntah-muntah saat itu

Romo, Ibu dan istriku terlibat percakapan serius saat itu. Mereka cair dalam suasana keakraban. Ini pertemuan pertama Romo dan Ibu dengan istriku . mereka seperti anak dan orang tua yang sudah lama tak bertemu, cair akrab dan senang bertemu bersama. Itu kelebihan istriku. Romo dan Ibu sangat hangat pada kami. Aku menemukan “Ayah” dalam diri room. Aku mencintaimu, Romo dan Ibu, pekik ku dalam hati

ROMO menasehati banyak hal tentang hidup dan semangat juang, pada aku dan istri. Ibu dan Romo duduk disisi kanan tempat tidur ku di RS. Sementara istriku duduk dekat kaki disebelah kiriku. Tangan nya bergerak memijat kaki ku pelan, bibirnya tak henti bergerak bicara dengan Romo dan Ibu. Subhanallah, ini kenikmatan silaturrahim yang sangat menyenangkan, meski dalam keadaan sakit. Romo membuat aku tertawa pelan dengan beberapa cerita nya. Romo memang humnoris dan penyayang pada anak-anak dan istri.

“kring…kringgg, HP Romo berbunyi berkali-kali. Romo bangun dan pindah tempat untuk menelpon. Tak lama kemudian dia menyapa ku dan memberikan HP nya. “saiful, Le”, katanya tegas

“hallo Ful, apa kabar? Maaf aku tak memberitahukan mu ya, sampai panik begini” kataku pada saiful di ujung telpon. Kami pun akhirnya terlibat iobrolan ringat tentang kabar masing- masing

Saiful, suami Dewi. Dia seorang pekerja keras. Dia membangun usahanya di Banda Aceh. Sesekali aku ikut membantu ide pengembangan, meski belum terlalu serius. Usahanya bertajuk JUALANKAOS.COM, bisa dilihat di www.jualamkaos.com. Itu hasil rancangan saiful. Dia juga desain ulung, bias dilihat web yang dia desain www.ratnasaridewi.com. Dia desainer yang berbakat. Baju-baju kaos yang di desain bagus-bagus.

***
PAGI SENIN, 19 januari 2010. Aku dipindahkan ke RS Saiful Anwar di MALANG. Aku dirawat lagi tiga hari di sana. Di Malang Trombositku naik menjadi 169 ribu. Aku pindah ke MALANG, karena anak-anak sedang berada disana. Istriku juga sedang melakukan stase lanjut pendidikan nya di MALANG, setahun ini. Aku memutuskan pindah rawat, karena ingin segera dekat dengan anak-anak.

Keesokan harinya 20 Januari 2010. Aku resmi keluar dari perawatan rumah sakit. Badan memang masih lemah. Aku merasakan “sentilan” Allah padaku di awal tahun 2010 ini. Sentiilan yang sangat manis namun penuh makna.

Sepuluh hari dirumah sakit mengingatkan aku pada rencana-rencana yang batal aku lakukan bersama anak-anak dan istri. Allah berkehendak lain. Di MALANG, kota dingin itu, aku larut dalam pelukan hangat keluarga. Kasih saying anak-anak dan istriku yang paling sejati.

AKU MERASAKAN SEMBUH. Allah memberikan kesempatan itu padaku. Aku mulai bias menyetir mobil lagi, mengantarkan istri bekerja dan anak-anak ke sekolah. Golden time yang jarang sekali didapat, karena kesibukan kami berdua.

***
HUJAN GERIMIS turun pelan di depan teras rumah kami. Anak-anak bermain mobil-mobilan dan boneka. Istriku menyiapkan teh hangat untuk kami semua. Suasana lengang di komplek rumah kami. Januari yang biru, sungguh indah. Aku baru saja disentil allah dengan nikmat sakit dan bahagia. Aku menuliskan ini untuk meningkatkan rasa syukurku pada allah dan terimakasih tak terhinggaku pada sahabat dan jhandai taulan yang sudah mendo’akan kesembuhan ku.

Aku benar benar merasakan cinta Allah dan nikmatnya menjadi Iman. Nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang selama ini diketahui sebagai vektor atau penyebar virus demam berdarah (DBD), mungkin lebih kuat dari perkiraan selama ini mwnggigitku. Penelitian menunjukkan nyamuk tersebut dapat terbang lebih jauh, aktif sampai malam, dan juga hidup di air kotor. Tapi Alhamdulillah sudah bersih dari tubuhku

***
Aku bersyukur, merasakan cinta Allah lewat seekor nyamuk. Ya, nyamuk.
Alhamdulillah Jaza Kumullaho Khoiro, terimakasih untuk semua cinta nya.

Bahagiaku, 26 Januari 2010. Di Bumi Allah, MALANG

0 komentar:

Template by - Fedri Hidayat - 2008